Postingan

Keep calm, enjoy bubur ayam

Di depan kantorku ada seorang penjual bubur ayam yang selalu ramai diserbu pembeli. Tidak hanya karyawan tetapi juga mahasiswa antri mengelilingi gerobaknya setiap pagi. Selain harganya yang terjangkau juga rasanya yang lumayan enak karena itu dalam beberapa jam saja biasanya bubur tersebut sudah habis.

Senja yang bersekutu

"Kamu itu orangnya egois sih, keras kepala.." laki-laki itu cengengesan di depanku.   Dua gelas jus jambu berwarna merah muda menemani kami berdua di sebuah sore yang jingga. Dia duduk membelakangi panorama pantai yang indah sedangkan aku menentang sinar matahari senja yang lembut di hadapanku.

Rafless, Bengkulu dan Singapura

Ini cerita pengalaman pertamaku ke luar negeri, Singapura. Mengapa Singapura? Alasannya karena negara ini sangat dekat dan juga karena aku tidak perlu mengkhawatirkan makanan halal yang mungkin akan sulit kutemui di negara lain. Alasan lainnya yang lebih khusus sebenarnya adalah karena cerita lama yang pernah kudengan tapi entah dari mana sumbernya. konon negeri Singapura ini pernah hendak ditukar pemerintah yang berkuasa saat itu (Jenderal Stanford Rafless) dengan kota kecilku Bengkulu atau Bencoelen , Cerita ini membuat aku penasaran ingin tahu seperti apakah negara yang dulunya sempat hendak ditukar dengan kotaku itu.

Rumah Kenangan

Aku memiliki masa kecil yang sangat indah, dibesarkan di sebuah kota kecil di Pulau Sumatera yang tenang, dikelilingi saudara-saudara yang mencintai dan tetangga-tetangga yang sangat menghormati keluarga kami. Kenang-kenangan indah   itu semuanya berawal dari sebuah rumah tempat aku dibesarkan, rumah kenangan.

Aku Mau Sedekah

Bulan istimewa, bulan penuh berkah tiba. Hari-harinya paling utama. Malam-malamnya paling utama. Jam demi jamnya paling utama.  Pahala sunnahnya dinilai sebagai pahala wajib, bahkan 1 kebaikan dibalas 70 kebaikan. Sedekah adalah 1 kebaikan, 1 sedekah akan diganjar 70 kebaikan. Aduhhai...siapa tak ingin mendapatkan sedemikian banyak kebaikan hidup di dunia dan di akhirat.

Mengeja Waktu

Gambar
Menginjakkan kaki kembali di tempat yang dua puluh tahun lalu pernah sangat kuakrabi rasanya seperti diserang dejavu tiap hari. Setiap sudut yang kulewati seolah menjadi kutub magnet besar yang menarik kenangan dari ingatan terdalamku. Kelebatan kenangan yang semula samar kemudian menjelma menjadi film bisu, kadang karena terlalu riuhnya kenangan itu muncul membuat kakiku terasa berat melangkah. Kuhembuskan nafas kuat-kuat untuk mengurangi beban di kepalaku. Sambil menenangkan kepala yang mendadak begitu sibuk aku berjalan pelan-pelan mengamati sekelilingku yang tidak banyak berubah. 

Menawar Harga Diri

“Saya minta tolong Bu, tolong ubah nilai saya jadi A atau B. Saya anak pertama Bu, setelah lulus kuliah ini orang tua saya sudah menyiapkan saya untuk masuk PNS. Kalau IPK saya tidak cukup dari batas minimal saya tidak bisa ikut seleksi PNS dan saya akan mengecewakan orang tua saya Bu, saya mohon Bu…”  Kalimat-kalimat setengah merengek itu keluar dari mulut seorang anak didikku. Tak urung aku terkejut mendengar kata-katanya, nekat juga anak ini pikirku. Hari ini saat ruang dosen sedang sepi dia menghampiriku dan katanya ingin berkonsultasi mengenai topik tugas akhirnya. Nyatanya bukan masalah topik penelitian yang dia utarakan tapi masalah perbaikan nilai, bukan dengan jalan yang seharusnya tetapi dengan jalan mendekati dosennya.