Dari air putih sampai lubang kacamata
Akhir pekan kemarin aku bersama sepupu dan keponakan diundang salah seorang kerabat kami ke Kabupaten Lebong. Kabupaten Lebong sendiri adalah kabupaten pemekaran baru yang merupakan pecahan Kabupaten Rejang Lebong di Bengkulu. Walaupun aku dilahirkan dan dibesarkan di Bengkulu tapi aku belum pernah sekali pun berkunjung ke Lebong karena jaraknya cukup jauh dari kota propinsi sekitar 6 jam perjalanan dengan mobil. Hanya sedikit cerita yang aku ketahui tentang Daerah Lebong, bahwa dulu pernah ada penambangan emas terbesar di Indonesia sewaktu Belanda masih menjajah Indonesia, jadi karena penasaran undangan saudaraku itu langsung kusambut dengan antusias.
Selepas sholat magrib kami berangkat menuju Lebong, perjalanan di malam hari tidak begitu banyak yang bisa dilihat, selain itu jalannya cukup banyak yang rusak dan berlubang di sana-sini, membuat perjalanan jadi tidak begitu nyaman. Keesokan harinya barulah perjalanan menelusuri Lebong dimulai, ibu kota kabupatennya adalah Muara Aman. Kami mulai perjalanan dengan membeli sarapan di pasar tradisional yang hanya buka hingga pukul dua belas siang saja. Kami memutuskan membeli nasi uduk dan sate padang, sambil berbincang dengan ibu penjual nasi uduk aku baru mengetahui ternyata beliau berasal dari daerah Jawa Barat, begitu juga waktu membeli kue penjualnya juga berbahasa Sunda. Aku bertanya kepada saudaraku mengapa banyak orang Sunda, katanya jangan heran malah ada satu desa yang semua penduduknya berasal dari Jawa Barat. Jadinya di pasar itu aku jadi merasa seperti sedang di daerah Puncak Cipanas, selain karena banyak penjual yang berbahasa Sunda juga karena pasar itu terletak di lereng bukit.
Selepas sholat magrib kami berangkat menuju Lebong, perjalanan di malam hari tidak begitu banyak yang bisa dilihat, selain itu jalannya cukup banyak yang rusak dan berlubang di sana-sini, membuat perjalanan jadi tidak begitu nyaman. Keesokan harinya barulah perjalanan menelusuri Lebong dimulai, ibu kota kabupatennya adalah Muara Aman. Kami mulai perjalanan dengan membeli sarapan di pasar tradisional yang hanya buka hingga pukul dua belas siang saja. Kami memutuskan membeli nasi uduk dan sate padang, sambil berbincang dengan ibu penjual nasi uduk aku baru mengetahui ternyata beliau berasal dari daerah Jawa Barat, begitu juga waktu membeli kue penjualnya juga berbahasa Sunda. Aku bertanya kepada saudaraku mengapa banyak orang Sunda, katanya jangan heran malah ada satu desa yang semua penduduknya berasal dari Jawa Barat. Jadinya di pasar itu aku jadi merasa seperti sedang di daerah Puncak Cipanas, selain karena banyak penjual yang berbahasa Sunda juga karena pasar itu terletak di lereng bukit.
Setelah menghabiskan sarapan, kami langsung menuju objek wisata yang terkenal di kota Muara Aman ini yaitu Sungai Air Putih, aku mengetahui nama objek wisata ini justru karena menyaksikan tayangannya di televisi, waktu menonton tayangan itu aku berdoa semoga suatu hari nanti aku bisa ke sana, alhamdulillah akhirnya keinginanku tercapai juga.
Dan akhirnya terbentanglah sungai air putih yang dulu hanya aku saksikan lewat layar televisi itu, sesuai dengan namanya air jernih dan berbuih putih mengalir deras, batu-batu besar terhampar juga berwarna putih. Di pinggir-pinggir sungai terdapat dinding batu yang mengeluarkan uap panas malah ada yang menyemburkan air mendidih yang kemudian mengalir sepanjang pinggir sungai. Masya Allah aku bergidik ngeri, entah berapa derajat celcius uap panas yang keluar dari perut bumi itu…Jika tidak hati-hati melangkah di sela-sela batu dipinggir sungai maka akan terinjak sumber air panas, yang anehnya tidak mengeluarkan asap,
Air sungai di bagian tengah sagat deras, tapi rata-rata dangkal hanya sebagian yang dalam. Batu-batu kecil lembut membelai kaki saat aku melangkah memasuki air sungai. Airnya terasa dingin dan sejuk, berbeda dengan air di pinggir sungai yang mendidih. Di bagian dinding yang lain ada air terjun kecil yang batu-batuannya berundak-undak sehingga kita bisa duduk di batu-batu tersebut, dan subhanallah airnya terasa hangat.
Setelah lelah berpindah-pindah dari air yang sejuk ke air hangat, perut kami mulai keroncongan. Rupanya saudaraku sudah menyiapkan makan siang dengan lauk-pauk beraneka macam. Kami menikmati makan siang di batu-batu besar berwarna putih yang indah itu. Entah karena suasananya yang sedemikian tenang atau karena memang lapar, semua makanan yang disajikan terasa nikmat sekali, semua orang makan dengan lahapnya. Selesai makan nasi, masih dilanjutkan dengan makan durian dan duku yang tadi kami beli di pasar. Wahh perutku benar-benar dimanja hari itu…
Tapi rupanya acara makan belum selesai karena tiba-tiba saudaraku membawa kantong yang diikat di tali, ternyata isinya telor rebus, rupanya begitu sampai di sunga tadi dia merebus telur itu langsung dengan cara memasukkannya ke dalam plastik yang digantung di sebuah tongkat kayu lalu menggelamkannya di sumber air panas yang keluar di dinding-dinding batu. Saudaraku mengeluarkan telur-telur itu lalu mengupasnya, kemudian mengambil sebuah kotak dari dalam tasnya yang ternyata isinya sambel terasi yang tadi sengaja disimpan agar tidak kami habiskan. Oooo…jadi begitulah caranya kembali kami menikmati makan telur rebus di bebatuan besar itu dengan sambel terasi, subhannallah sungguh nikmat rasanya…..
Puas berenang dan makan di sungai kami melanjutkan perjalanan, kali ini ke lobang kaca mata. Aku penasaran apa itu lobang kaca mata, tapi sepupuku tidak mau menjelaskan, lihat saja nanti begitu katanya…Ternyata lobang kaca mata itu adalah dua buah mulut gua di dinding bukit batu yang sekilas dari bawah mirip sekali seperti sepasang mata. Untuk mencapai mulut gua itu ada tangga yang sengaja dibuat sehingga kami tidak perlu mendaki bukit batu tersebut. Dinding goa itu berwarna putih yang jika terkena sinar matahari akan bercahaya, cantik sekali. Menurut saudaraku gua itu tidak terjadi dengan sendirinya tapi sengaja dibuat untuk penambangan emas.
Tapi rupanya acara makan belum selesai karena tiba-tiba saudaraku membawa kantong yang diikat di tali, ternyata isinya telor rebus, rupanya begitu sampai di sunga tadi dia merebus telur itu langsung dengan cara memasukkannya ke dalam plastik yang digantung di sebuah tongkat kayu lalu menggelamkannya di sumber air panas yang keluar di dinding-dinding batu. Saudaraku mengeluarkan telur-telur itu lalu mengupasnya, kemudian mengambil sebuah kotak dari dalam tasnya yang ternyata isinya sambel terasi yang tadi sengaja disimpan agar tidak kami habiskan. Oooo…jadi begitulah caranya kembali kami menikmati makan telur rebus di bebatuan besar itu dengan sambel terasi, subhannallah sungguh nikmat rasanya…..
Sekarang setelah emas di daerah itu sudah semakin habis penambangan itu ditinggalkan begitu saja, tetapi masyarakat sekitar yang hidup sangat sederhana masih mencari sisa-sisa emas yang tersisa dengan melakukan penambangan secara tradisional hingga saat ini.
Puas melihat-lihat kami melanjutkan perjalanan pulang kembali ke Bengkulu, tidak lupa mampir sebentar ke Danau Tes. Alhamdulillah perjalanan kali ini benar-benar menyenangkan, ada rasa takjub yang tersisa menyaksikan betapa indah ciptaan Allah SWT di bumi Indonesia ini...
Komentar
Posting Komentar