Negeri lima menara (A. Fuadi)
Ini adalah buku pertama dari sebuah novel trilogi. Awalnya saya tidak begitu tertarik karena menurut saya judul novel ini agak jadul gimana gitu, tp setelah baca isinya, satu paragraf pun tak ingin saya lewatkan.
Novel ini mengisahkan tentang seorang remaja bernama Alif Fikri, Alif adalah anak asli Minang Kabau tepatnya dari desa Bayut yang terletak di tepi Danau Maninjau Sumatera Barat. Lulus dengan nilai-nilai yang memuaskan Alif bercita-cita masuk SMA. Seumur hidupnya Alif tidak pernah meninggalkan kampung halamannya, tiba-tiba dia harus mengambil keputusan setengah hati merantau ke sebuah desa di Jawa Timur untuk belajar di pesantren karena ibunya menginginkan dia menjadi seorang Buya Hamka bukan seorang Habibie seperti yang selama ini menjadi cita-citanya.
Di pesantren Pondok Madani inilah Alif bertemu dengan teman-temannya yang kemudian menjadi teman senasib sepenanggungan menjalani kerasnya disiplin kehidupan di Pondok Madani, Raja dari Medan, Said dari Surabaya, Dulmajid dari Sumenep, Atang dari Bandung, dan Baso dari Gowa. Jika ada waktu senggang mereka menghabiskan waktu di bawah menara masjid, karena itu mereka menamakan diri Shahibul Menara. Menara masjid itulah yang menjadi saksi ke enam anak-anak itu menceritakan mimpi-mimpi mereka. Di bawah bayangan menara masjid itu mereka menatap awan-awan yang menjelma menjadi benua impian masing-masing. Alif melihat awan seperti benua Amerika, Raja melihat benua Eropa, Atang melihat benua Afrika, sedangkan Said dan Dul melihat awan itu seperti Kepulauan Nusantara. Mereka tidak tahu akan dibawa kemana mimpi mereka tapi mereka yakin setinggi apapun Allah Maha Mendengar.
Hal-hal lucu dan mengharukan mereka lalui selama kurang lebih empat tahun di Pondok Madani, dimulai dari tiga bulan pertama yang sangat berat karena harus belajar bicara bahasa Arab dan bahasa Inggris dalam percakapan sehari-hari. Sungguh menggelikan ketika Baso belajar membaca bahasa Inggris “waath thaimi izzz ith naung” maksudnya “what time is it now”. Time dibaca dengan thaimi dengan menggunakan huruf tha tebal yang sempurna sekali. Now dibaca dengan berdengung panjang persis seperti membaca mad panjang tiga harokat dalam ilmu tajwid.
Kata pertama yang Alif dapatkan dari gurunya di Pondok Madani adalah Man Jadda wa Jadda, yang artinya siapa bersungguh-sungguh pasti sukses. Kata-kata itu menjadi mantera sakti buat Alif dan kelima sahabatnya hingga mereka berhasil mewujudkan impian mereka. Walaupun dalam hati kecilnya Alif tetap ingin belajar ilmu umum di SMA, tapi dia juga tak kuasa menolak keinginan ibunya belajar ilmu agama. Selama ini anak yang masuk pesantren atau sekolah agama adalah anak yang nilainya tidak cukup masuk sekolah umum, atau anak yang nakal dengan harapan bisa berubah jadi baik, karena itu ibunya ingin Alif yang cerdas belajar ilmu agama agar menjadi seorang pemimpin agama yang cerdas dan berpengetahuan luas.
Alif sungguh tidak menyangka keputusan setengah hatinya masuk pesantren malah membawanya menuju kesuksesan dan mencapai cita-cita yang dimimpikannya selama ini. Novel ini ditutup dengan pertemuannya dengan Atang yang telah menjadi mahasiswa program Doktor Universitas Al Azhar Kairo, dan Raja yang menetap di London menjadi pembina agama komunitas Islam di sana. Di bawah menara mereka kembali berkumpul, tp kali ini bukan di bawah menara masjid melainkan sebuah menara granit di Trafalgar Square London, mengenang kenangan indah mereka semasa bermimpi di bawah menara masjid Pondok Madani dan sekarang impian itu telah terwujud. Man Jadda Wajadda, siapa bersunguh-sungguh akan sukses.
Saya sudah tidak sabar menunggu buku keduanya segera terbit.
Di pesantren Pondok Madani inilah Alif bertemu dengan teman-temannya yang kemudian menjadi teman senasib sepenanggungan menjalani kerasnya disiplin kehidupan di Pondok Madani, Raja dari Medan, Said dari Surabaya, Dulmajid dari Sumenep, Atang dari Bandung, dan Baso dari Gowa. Jika ada waktu senggang mereka menghabiskan waktu di bawah menara masjid, karena itu mereka menamakan diri Shahibul Menara. Menara masjid itulah yang menjadi saksi ke enam anak-anak itu menceritakan mimpi-mimpi mereka. Di bawah bayangan menara masjid itu mereka menatap awan-awan yang menjelma menjadi benua impian masing-masing. Alif melihat awan seperti benua Amerika, Raja melihat benua Eropa, Atang melihat benua Afrika, sedangkan Said dan Dul melihat awan itu seperti Kepulauan Nusantara. Mereka tidak tahu akan dibawa kemana mimpi mereka tapi mereka yakin setinggi apapun Allah Maha Mendengar.
Hal-hal lucu dan mengharukan mereka lalui selama kurang lebih empat tahun di Pondok Madani, dimulai dari tiga bulan pertama yang sangat berat karena harus belajar bicara bahasa Arab dan bahasa Inggris dalam percakapan sehari-hari. Sungguh menggelikan ketika Baso belajar membaca bahasa Inggris “waath thaimi izzz ith naung” maksudnya “what time is it now”. Time dibaca dengan thaimi dengan menggunakan huruf tha tebal yang sempurna sekali. Now dibaca dengan berdengung panjang persis seperti membaca mad panjang tiga harokat dalam ilmu tajwid.
Kata pertama yang Alif dapatkan dari gurunya di Pondok Madani adalah Man Jadda wa Jadda, yang artinya siapa bersungguh-sungguh pasti sukses. Kata-kata itu menjadi mantera sakti buat Alif dan kelima sahabatnya hingga mereka berhasil mewujudkan impian mereka. Walaupun dalam hati kecilnya Alif tetap ingin belajar ilmu umum di SMA, tapi dia juga tak kuasa menolak keinginan ibunya belajar ilmu agama. Selama ini anak yang masuk pesantren atau sekolah agama adalah anak yang nilainya tidak cukup masuk sekolah umum, atau anak yang nakal dengan harapan bisa berubah jadi baik, karena itu ibunya ingin Alif yang cerdas belajar ilmu agama agar menjadi seorang pemimpin agama yang cerdas dan berpengetahuan luas.
Alif sungguh tidak menyangka keputusan setengah hatinya masuk pesantren malah membawanya menuju kesuksesan dan mencapai cita-cita yang dimimpikannya selama ini. Novel ini ditutup dengan pertemuannya dengan Atang yang telah menjadi mahasiswa program Doktor Universitas Al Azhar Kairo, dan Raja yang menetap di London menjadi pembina agama komunitas Islam di sana. Di bawah menara mereka kembali berkumpul, tp kali ini bukan di bawah menara masjid melainkan sebuah menara granit di Trafalgar Square London, mengenang kenangan indah mereka semasa bermimpi di bawah menara masjid Pondok Madani dan sekarang impian itu telah terwujud. Man Jadda Wajadda, siapa bersunguh-sungguh akan sukses.
Saya sudah tidak sabar menunggu buku keduanya segera terbit.
Komentar
Posting Komentar