Trend dan Paradoks Produktifitas Dalam Perkembangan TI


Kecenderungan teknologi informasi menunjukkan angka yang selalu naik dengan kecepatan tinggi, dan kemungkinan akan terus berlanjut di masa mendatang. Selama 50 tahun terakhir triliunan dollar diinvestasikan dalam bidang TI, dan yang mengejutkan pengeluaran total biaya dalam bidang TI melebihi angka 20 triliun dollar per tahunnya. Laporan penelitian Fisher (2001) menunjukkan hanya sekitar 8 persen dari total nilai belanja TI yang benar-benar memberikan nilai. Dengan nilai investasi yang sedemikian besar, seharusnya  juga meningkatkan keuntungan bagi sebuah perusahaan atau organisasi, sebab jika tidak berarti TI tidak memberikan keuntungan atau bahkan merugikan bagi perusahaan.
Tetapi di sisi lain sangat sulit untuk menunjukkan nilai ekonomi pada investasi IT karena kebanyakan investasi IT berada pada bidang pelayanan jasa, dan sangat sedikit di bidang produksi.

Kesenjangan nilai investasi TI dengan nilai produktifitas ini disebut paradox produktifitas yang pertama kali dimunculkan oleh Robert Solow (1987),  istilah “paradoks produktivitas” di mana Teknologi Informasi (TI) muncul pada setiap aspek kehidupan tetapi tidak muncul pada statistik produktivitas. Tetapi Nicholas G. Carr (2003) pernah menghebohkan masyarakat TI dengan artikelnya pada Harvard Business Review (HBR) berjudul “IT doesn't matter”. Carr beralasan bahwa TI sudah menjadi komoditas seperti halnya listrik. Carr menuai kritik dari banyak kalangan, namun teori Carr ini ada benarnya jika suatu saat nanti kebutuhan kita akan teknologi sama seperti kebutuhan kita akan listrik, dan itu pasti akan terjadi. Pada saat itu nanti pengeluaran di bidang TI tidak akan diperhitungkan lagi karena sudah menjadi pengeluaran wajib seperti halnya listrik.

Beberapa penjelasan penyebab terjadinya paradox produktifitas tersebut dapat dikelompokkan dalam berbagai kategori : 
1.  Masalah dengan data dan analisis menyembunyikan fakta meningkatnya produktifitas dari TI. Hal ini disebabkan karena sulit untuk menyatakan dan mengukur keuntungan dan peningkatan produktifitas. Selain itu manfaat TI baru akan terasa setelah jangka waktu yang lama.
2.  Peningkatan TI ditutupi oleh kerugian di wilayah lain. Keuntungan di satu departemen atau mungkin di satu perusahaan bisa jadi menyebabkan kerugian di bidag lain ( contohnya peningkatan belanja TI akan mengurangi belanja di bidang pemasaran ).
3. Peningkatan produktifitas TI ditutupi oleh biaya dan kerugian di bidang lain. 


Perbedaan pandangan dan cara mengevaluasi investasi TI membuat pendapat dari para ahli untuk memberikan jawaban terhadap masalah paradox dalam produktifitas juga berbeda-beda. Selain itu juga karena sulitnya untuk mengukur hubungan antar investasi TI dengan kinerja organisasi membuat penelititan tentang paradox ini semakin beragam.
 Perbedaan dari kedua pendapat para ahli tersebut adalah pada alasan mengapa paradox pruduktifitas tersebut terjadi, Shane Greenstein menilai adanya penyalahan  IT dalam produktifitas paradox disebabkan karena vendor yang membuat isu di masyarakat dengan menjanjikan hal-hal yang tidak bisa dikerjakan oleh mesin komputer, sehingga expektasi masyarakat yang terlalu tinggi terhadap TI membuat pembenaran bahwa paradox prouduktifitas disebabkan oleh TI. Sedangkan Joe Loughrey mengungkapkan bahwa kekurangan produktifitas paradox pada sisi lain malah menguntungkan tetapi dalam rentang waktu tertentu.

TI bukan merupakan mesin yang secara otomatis dapat memberikan keuntungan. TI hanya merupakan alat yang dapat mempercepat suatu proses. Karena itu, klaim tentang produktifitas paradox harus berdasarkan penggalian data-data yang akurat dan lengkap untuk membuktikan apakah benar TI menyebabkan kemunduran dalam bidang produktifitas dan apakah produktiftas paradox itu sendiri menjadi masalah bagi sebuah perusahaan.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Love Story (Erich Segal)

Resensi Buku : Three Cups of Tea

Dimanakah Hari Tuaku Berada?