Another Abdullah’s Story

Seorang hamba Allah yang lain, masih dalam kebersahajaan hidupnya, kembali menebarkan hikmah pada sisi kehidupanku yang lain. Dia hanya seorang petugas bersih-bersih di kampusku, kalau pekerjaannya membersihkan ruang kuliah sudah selesai biasanya dia membantu karyawan di bagian kesekretariatan memfotokopi atau kadang membelikan makan siang para karyawan yang sibuk sehingga tidak sempat keluar kantor sejenak. Tidak ada yang istimewa lebih setahun mengenalnya, aku sering menyapanya jika kebetulan bertemu saat dia sedang mengepel lantai di lorong kelas,  biasanya dia hanya tersenyum sambil mengangguk dengan hormat, sangat sopan.

Kantin dikampusku yang terdiri dari empat lantai hanya ada satu, itupun pada jam makan siang biasanya sangat ramai, selain harganya juga agak kurang bersahabat dengan dompet mahasiswa tugas belajar yang lumayan tipis.  Waktu istirahat dari satu mata kuliah ke mata kuliah yang lain terkadang hanya cukup untuk antri sholat di mushola yang kecil. Rupanya Mas Abdullah punya sedikit getaran jiwa enterpreneur dalam hatinya yang lugu, atau mungkin juga karena kasihan melihat mahasiswa yang kehausan.

Di atas kursi panjang dilorong ruang kuliah sekarang ada kardus besar berwarna putih, di atasnya diletakkan toples plastik kecil bertuliskan “ jus buah @Rp.4000, silakan ambil sendiri, uangnya masukkan dlm stoples.terima kasih-Abdullah”.
Kami beramai-ramai membuka kardus tersebut, beraneka jus buah dingin dalam plastik kemasan ditata disitu. Macam-macam komentar teman-teman yang terdengar, “mungkin dia pikir semua orang yang kuliah disini jujur semua ya”, “nanti kalo ada yang ga bayar gimana”, “kalo ada yang ambil uangnya gimana kan bukan kita aja yang kuliah disini”, “dikiranya kalo udah S2 ga mungkin bohong lagi kali yaa…”, “ini buat melatih kejujuran kita”.

Aku segera mengambil jus jambu kesukaanku karena tidak tahan melihat warnanya yang merah dan bulir embun es yang mengalir begitu segar, memasukkan uang pas 4000 rupiah ke dalam toples. Temanku yang lain mengikuti jejakku, seorang teman mengambil jus mangga, memasukkan uang 5000 rupiah sambil berkata “kembaliannya gak usah”, yang lain berkata “aku beli ahh, kasian soalnya..”. Menjelang siang toplesnya sudah hampir penuh dengan uang kertas ribuan, aku berharap semoga Mas Abdullah segera mengosongkan toples itu karena aku takut ada yang mengambil uangnya. Tapi sampai sore toples itu masih tetap penuh dengan uang, mungkin dia terlalu sibuk dengan pekerjaannya, atau sebegitu besarkah rasa percayanya kepada kami?

Esoknya saat jam kuliah sedang kosong karena dosennya tidak datang, aku duduk di kursi disamping kardus jus buahnya Mas Abdullah. Toples uangnya baru terisi beberapa lembar uang ribuan, mungkin karena hari masih pagi jadi belum ada yang berminat minum jus. Seorang laki-laki mengambil jus dan meminumya tidak jauh dari tempatku duduk, aku pura-pura sibuk dengan laptopku, tapi setelah jusnya habis orang itu meletakkan gelasnya begitu saja dan berlalu. Aku ingin mengingatkan, tapi kupikir mungkin saja dompetnya ketinggalan jadi nanti dia kembali lagi. Aku takut ada saja yang dengan sengaja tidak membayar, aku tak percaya semua orang disini akan berlaku jujur. Aku takut Mas Abdullah merugi dan jadi bertambah susah hidupnya. Tetapi yang mengherankan adalah sikap percaya Mas Abdullah itu, mengapa dia begitu yakin, apakah pikirannya sesederhana kehidupannya, itukah yang disebut tawakal? Tiba-tiba aku merasa malu karena aku baru tersadar Allah sedang berusaha menunjukkan kepadaku seperti apa tawakal itu.

Hari-hari seterusnya aku memutuskan berlangganan jus buah Mas Abdullah, sambil tetap saja sesekali mengamati kalau-kalau ada yang lupa memasukkan uang ke dalam toples, aku masih belum bisa mempercayai bahwa semua orang akan memasukkan jumlah uang yang pas ke dalam toples tersebut. Tetapi esoknya dan esoknya lagi, jus buah itu tetap ada di tempatnya, lengkap dengan toples uangnya, bukti kepasrahan dan kepercayaan Mas Abdullah akan rizki dari Tuhannya. Ridha di hatinya akan rizki yang telah di atur Tuhan adalah bukti tawakal dalam hatinya. 

Aku bersyukur Allah mengajarkan hikmah kehidupan yang lain dalam kehidupanku lewat hamba-hambaNYa yang bersahaja. Dalam deretan doaku yang panjang aku menambahkan satu doa lagi : Ya Allah ajarkanlah kepadaku tawakalnya burung-burung yang pergi di pagi hari dalam keadaan lapar, kemudian pulang sore hari dalam keadaan kenyang. Ilhamkanlah kepadaku ridha pada ketetapan takdirMU seperti bayi yang tenang di pangkuan ibunya. Amiin…

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Love Story (Erich Segal)

Resensi Buku : Three Cups of Tea

Dimanakah Hari Tuaku Berada?