Antara tukang becak, semangkuk es duren, pengemis dan uang receh...

Memutuskan untuk ke pasar Johar  Semarang di siang hari Minggu yang panas ternyata benar-benar menguras tenaga dan keringat.  Hanya untuk mencari sepotong celana dengan harga yang lebih murah daripada di mall, aku dan temanku akhirnya ikut berdesak-desakan di antara pembeli yang berjubel.

Karena ini pertama kalinya aku dan temanku belanja ke pasar Johar, kami benar-benar dibuat bingung. Kepalaku tiba-tiba berdenyut sakit melihat orang-orang yang lalu lalang. Karena tidak tahu dimana penjual celana itu berada, dan tidak tahan dengan panasnya udara dan keramaian, akhirnya kami memutuskan keluar dari los penjual baju dan mencari penjual es.

Diseberang jalan yang ramai terlihat gerobak tukang minuman, pasti menyegarkan minum es  di cuaca sepanas ini, temanku langsung memesan semangkuk es duren sedangkan aku yang tidak suka duren memesan es teh manis untuk dinikmati. Sambil menikmati es kami memperhatikan orang-orang yang lalu lalang, bukan hanya pembeli tetapi juga banyak pedagang kaki lima , pengemis, penjual buah-buahan, tukang becak, semuanya kepanasan. Seorang pengemis kecil datang meminta uang recehan, matanya memandang mangkuk es duren milik temanku, kasihan mungkin dia juga ingin menikmati es tersebut. Temanku memberinya beberapa keping uang receh, tetapi kemudian penjual es mengusir anak kecil itu. Tak lama setelah pengemis kecil tadi berlalu, datang lagi pengemis yang lain, kali ini seorang ibu-ibu tua, dia memelas dalam bahasa Jawa yang tidak kupahami, aku pun memberinya kepingan recehan. Kira-kira lima belas menit waktu yang kami habiskan untuk minum es, selama itu ada lima orang pengemis yang datang meminta-minta kepada kami.

Aku mengajak temanku untuk segera beranjak pergi dari situ, karena cuaca tambah panas, dan juga mulai merasa terganggu dengan pengemis yang berdatangan. Akhirnya kami naik taxi ke mall, masih berusaha mencari celana yang ingin kami beli tadi. Sampai di mall ternyata sedang ada diskon besar-besaran, rencana awal hanya membeli celana buyar, kami memborong baju-baju, membayar sesuai harga yang tertera, tanpa menawar sama sekali karena ini mall bukan pasar tradisonal.

Karena jarak mall yang tidak terlalu jauh dari tempat kos, pulangnya kami memutuskan naik becak, temanku mati-matian menawar harga yang disebutkan tukang becak, akhirnya tukang becak itupun mengalah, di atas becak  aku dan temanku masih membicarakan baju-baju di mall tadi, ingin rasanya dibeli semua karena modelnya adalah model terbaru yang sedang trend saat ini. Suara berat helaan nafas abang tukang becak, dan sesekali tebatuk-batuk bagai angin lalu saja ditelinga kami.

Sampai di kamar aku mengeluarkan baju-baju yang tadi kubeli, melipatnya, kemudian menaruhnya di atas tumpukan baju-baju yang semakin tinggi di dalam lemari, kukeluarkan uang recehan dari dalam kantong celanaku lalu mengumpulkannya bersama recehan lain yang tidak pernah kusentuh.

Dari bulan ke bulan, tahun ke tahun gaji yang kuterima sebagian besar kubelanjakan untuk urusan duniawiku, sisanya hanya dalam bentuk recehan yang kubelanjakan untuk akhiratku. Aku membeli apa saja yang aku mau, makan apa saja yang aku inginkan, tapi tukang becak yang tadi kami tawar mungkin uangnya belum cukup untuk membeli sebungkus nasi. Bagiku uang recehan hanya untuk ditumpuk dan tidak disentuh, sementara sebagian orang lain uang recehan itu adalah penyambung hidup mereka hari ini. Bagiku baju-baju yang modelnya sudah ketinggalan jaman tidak layak dipakai lagi, sementara yang lain menahan dingin memakai baju yang sudah compang camping. Aku juga sering menyisakan makanan di piringku karena rasanya tidak enak sementara yang lain seharian belum terisi sebutir nasipun dalam perutnya. Tanpa aku sadari aku telah menyumbang keputusasaan  di hati orang yang miskin papa itu, karena tiap hari mereka menyaksikan ironi betapa mudah hidup buatku dan betapa sulit hidup buat mereka.

Malam ini, ingin menangis rasanya menggigit daging yang kumakan, tak sanggup rasanya mencoba baju yang tadi baru saja dibeli, seakan mata orang-orang miskin papa itu memandangku dan berteriak “kembalikan hak-hak kami dalam hartamu itu!”. Seakan es duren, pengemis dan uang receh itu menatapku dengan marah. Biarkanlah aku menangis sejadi-jadinya Tuhan, karena kebodohanku ini seringkali aku tak sanggup menolak gemerlapnya dunia, dan melupakan tujuan akhiratku.

Komentar

  1. wah, menyentuh sekali ceritamu, dek Tika

    BalasHapus
  2. ini cerita tentang diri sy sendiri pak, terkadang rasanya hati sy sudah membatu dan merasa biasa melihat penderitaan di sekeliling sy, tukang becak dan pengemis itu bagaikan setetes air yang membasahi hati sy yang kering....

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Love Story (Erich Segal)

Resensi Buku : Three Cups of Tea

Dimanakah Hari Tuaku Berada?