Cerita yang tersisa sepanjang Magelang-Purworejo

Betapa sulitnya mengumpulkan nafas untuk mulai menulis lagi setelah sekian lama absen, ada saja halangannya, kena diarelah, sakit kepala karena masuk anginlah, deadline setoran proposal tesis, dan ketiban proyek pembuatan website yang benar-benar mendesak. Ah, akhirnya Alhamdulillah jari-jemari ini kembali mau menari di atas keyboard, menterjemahkan tiap kelebatan memory di otakku menjadi kalimat-kalimat untuk memuaskan dahagaku berkeluh kesah dan bercerita tentang kehidupanku….


Kegiatan residensi dari kampus telah berakhir minggu kemarin, acaranya sendiri diadakan di Dinas Kesehatan Kabupaten Purworejo Jawa Tengah, tetapi aku dan kedua teman yang perempuan sengaja memilih menginap di Magelang di rumah orang tua temanku, walaupun agak sedikit jauh dari Purworejo tetapi demi untuk kenyamanan kami memutuskan pulang-pergi Magelang-Purworejo. Jadilah tiga hari itu kami merepotkan ibu temanku yang sudah sepuh, tapi seperti kebanyakan orang-orang tua yang lain tidak bisa berdiam diri. Sedangkan teman-teman yang laki-laki menginap di rumah orang tua temanku yg lain di Purworejo, yang juga hanya tinggal berdua saja.

Setiap pagi jam tujuh kami mulai menunggu bus menuju Purworejo di pinggir jalan yang membingkai persawahan yang menghijau. Aneh juga padahal Kabupaten Magelang cukup dekat jaraknya dengan Gunung Merapi yang baru meletus, tapi hanya sedikit terkena abu merapi. Suasana pagi begitu sejuk karena Magelang dijaga gunung-gunung disekelilingya, Gunung Bukit Menoreh, Gunung Sumbi , Gunung Merbabu dan Gunung Merapi, setiap pagi mereka selalu berlomba memamerkan keperkasaan puncaknya kecuali Gunung Merapi yang masih bersembunyi di balik awan mungkin dia masih marah, entahlah...Selama tiga hari itu aku berharap agar cuaca cerah, dengan begitu aku bisa melihat gunung merapi dari pinggir jalan, tetapi rupanya Merapi enggan memunculkan dirinya karena mendung tebal selalu menyelimuti Kabupaten Magelang setiap pagi. Sepanjang perjalanan aku bisa menyaksikan sisa-sisa abu merapi yang menempel di dedaunan, pohon kelapa, pohon pisang dan rumpun bambu yang tampak paling menderita tersaput abu merapi. Di Purworejo jalanan bahkan memutih tertutup abu, lebih tebal daripada di Kabupaten Magelang. Kami menjejakkan kaki di Dinas Kesehatan Purworejo, sepatu dan rokku memutih  tersaput abu, tapi aku menikmatinya, kapan lagi bisa main abu seperti ini...

Kegiatan residensi tiga hari itu disi dengan wawancara, evaluasi, dan analisis terhadap sistem informasi kesehatan yang sudah berjalan di Dinas Kesehatan Purworejo. Setelah kegiatan selesai seorang karyawan mengusulkan agar kami mencoba sate winong yang cukup terkenal di Kabupaten Purworejo ini. Rombongan kami pun tak menyia-nyiakan waktu segera menuju ke tempat yang dimaksud. Winong adalah nama desa tempat sate itu dijual, sate kambing biasa hanya yang membedakan satenya tidak disajikan dengan tusuk sate dan ada taburan daun jeruk purut di atasnya, tetapi selebihnya rasanya sama saja seperti sate kambing dari daerah-daerah lain yang pernah kumakan, tidak ada yang istimewa, agak kecewa juga sebenarya karena aku pikir akan ada sesuatu yang lain.

Sebelum pulang kembali ke Semarang kami menyempatkan diri berpamitan dengan orang tua temanku yang laki-laki di Purworejo, kelihatan mereka sangat senang rumahnya ramai dikunjungi. Mungkin mereka kesepian, karena menurut temanku dia hanya sempat mengunjungi orang tuanya setahun sekali. Anak-anak yang lain pun mungkin juga sibuk dengan pekerjaannnya masing-masing.

Akhirnya tentu saja berpamitan dengan keluarga temanku di Magelang, berterima kasih telah mau direpotkan selama tiga hari kami menumpang di sana. Dalam rintik hujan menjelang sore kami melambaikan tangan pada mereka, kedua orang tua temanku melambaikan tangan lalu berbalik menutup pintu, kembali berdua lagi, kesepian lagi…

Di mobil dalam perjalanan temanku yang laki-laki berujar “kita nanti juga akan begitu, ketika masih muda sibuk mencari uang untuk menyekolahkan anak-anak, setelah dewasa mereka pergi meninggalkan kita berdua saja dengan pasangan hidup kita menghabiskan waktu dalam kesepian, berharap sewaktu-waktu anak-anak dan cucu datang menjenguk”. Aku terdiam, merenung memandang tetesan air hujan di kaca mobil, dingin di luar sana seakan ikut menyiramkan dingin di lubuk hatiku. Seperti apa rasanya menjadi tua dan kesepian? Tak terasa ada air yang mengalir di pipiku, tiba-tiba aku sangat merindukan kedua orang tuaku…..

 Inilah sate winong itu....


 Pohon pisang, pohon kelapa, dan rumpun bambu yg paling merana tersaput abu Merapi

 Sisa-sisa abu merapi yang memutihkan sepatu dan rok-rok kami, kapan lagi main abu seperti ini....

 Jalanan yang kami lewati setiap pagi, di kiri gunung, di kanan gunung, bahkan di tengahpun gunung, disitulah kota Magelang, sayang aku tak sempat memotret gunung-gunung yang selalu bersembunyi di balik kabut...

Rumah orang tua temanku.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Love Story (Erich Segal)

Resensi Buku : Three Cups of Tea

Dimanakah Hari Tuaku Berada?