Resensi Buku : Three Cups of Tea



Judul          : Three cups of tea
Pengarang : Greg Mortenson & David Oliver Relin
Penerbit     : Mizan
Halaman    : 629 halaman
Harga        : Rp. 89.000,-






 “…(Di Pakistan dan Afghanistan) kami minum tiga cangkir teh saat membicarakan bisnis; pada cangkir pertama engkau masih orang asing; cangkir kedua engkau teman, dan pada cangkir ketiga, engkau bergabung dengan keluarga kami. Sebuah keluarga yang siap untuk berbuat apa pun--bahkan untuk mati.”

Pada tahun 1993 Greg Mortenson, pendaki gunung asal Amerika Serikat berhasrat menaklukkan puncak gunung tertinggi kedua sedunia di Himalaya . Kepergiannya ke puncak gunung tersebut dalam misi sebagai penghormatan yang tertinggi untuk adiknya christa yang baru saja meninggal, dia ingin meletakkan kalung batu ambar milik adiknya dipuncak tertinggi itu, misi tersebut bukan hanya gagal tetapi malah menyampaikannya pada sebuah misi lain untuk menegakkan perdamaian. : mendirikan sekolah satu demi satu. Ternyata mendaki puncak sebagai seorang pekerja kemanusiaan jauh lebih sulit dari pada mendaki puncak gunung manapun di dunia ini.

Pegunungan Karakoram Pakistan tersebar di areal seluas kurang dari seratus mil persegi, lebih dari enam puncak teringgi di dunia dipamerkan di dataran tinggi tak berpenghuni itu, di sanalah puncak tertinggi kedua di dunia berupa granit yang menjulang dilapisi es , dalam pemetaan Inggris dikenal dengan sebutan K2  dan dikalangan para pendaki di dunia dianggap sebagai pembunuh yang mematikan. Mortenson tidak hanya gagal mendaki puncak tersebut tapi juga tersesat dan mengalami keletihan kronis hingga bobot tubuhnya berkurang 15kg. Dalam keadaan letih dan putus asa menuruni gunung dia diselamatkan Haji Ali tetua Desa Korphe, desa yang tak pernah dilihatnya di peta.

Korphe adalah sebuah desa yang indah ditengah keganasan alam disekelilingnya, tetapi masyarakatnya tidak hanya terisolir juga sangat miskin. Mortenson diperlakukan dengan sangat baik, bahkan masyarakat mengorbankan seekor kambing jantan untuk disembelih agar dia bisa memakan dagingnya dan cepat pulih, padahal kambing jantan adalah harta yang sangat berharga bagi warga desa yang tidak memiliki banyak harta itu. Ketika memikirkan cara untuk membalas kebaikan penduduk Desa Korphe itulah Mortenson menyaksikan bagaimana anak-anak Korphe belajar di sebuah tempat yang mereka sebut “sekolah”. Anak-anak itu duduk melingkar di tanah yang membeku dalam udara yang sangat dingin, mengerjakan tugas dengan sangat tertib bahkan di saat tidak ada guru. Pemerintah Pakistan tak mampu membayar gaji guru, karena itu penduduk desa korphe berbagi guru dengan desa tetangga tiga kali dalam seminggu. Mortenson berjanji kepada Haji Ali “Aku akan membangun sebuah sekolah untuk desa ini. Aku berjanji”.

Kisah selanjutnya menceritakan tentang perjuangan Mortenson memenuhi janjinya, Pekerjaannya  hanyalah sebagai seorang perawat tidak tetap dan tidak memiliki tabungan yang cukup untuk membeli material-material sekolah, karena itu Mortenson mulai mengirim 580 surat permohonan dana kepada orang-orang kaya bahkan juga kepada selebritis, dan tak satupun surat tersebut yang dibalas!
Hampir setahun perjuangannya mengumpulkan dana, sampai akhirnya seorang temannya menuliskan perjuangannya untuk membangun sekolah di buletin para pendaki gunung, dan dari sanalah dia mengenal Jean Hoerny yang nantinya akan mendanai semua sekolah yang ia didirikan.

Tapi hambatan yang ditemui Mortenson bukan hanya masalah dana, membangun sebuah sekolah di Pakistan tidak dapat diselesaikan dengan uang saja. Adat istiadat suku setempat yang sudah beratus-ratus tahun terisolir dari orang luar, ancaman pembunuhan, kecurigaan suku-suku yang bertikai, ditambah  lagi dengan suhu politik negeri itu yang terus berperang dengan negara tetangganya India membuat mereka tidak mudah menerima orang asing apalagi menerima rencana mendirikan sekolah, semua itu tidak pernah membelokkan niat Mortenson untuk mendirikan sekolah bagi anak-anak Pakistan.

Dari sinilah muncul filosofi tiga cangkir teh itu, karena semua pembicaraan di negeri itu di awali dengan menuangkan secangkir teh, dan jika lawan bicara dapat menyesuaikan diri dengan orang-orang setempat maka dia akan diterima seiring dengan makin banyaknya teh yang dituangkan. Masyarakat di sana sangat memuliakan tamu, mereka rela mengorbankan semua harta terbaik miliknya untuk diberikan kepada tamunya, dan jika sang tamu akhirnya sudah berhasil merebut kepercayaan mereka maka dia akan dianggap sebagai bagian dari keluarga yang akan dibela sampai mati. Greg Mortenson adalah seorang yang jujur dan rendah hati dan tidak mengherankan jika kemudian dia berhasil meyakinkan masyarakat bukan hanya di desa Korphe untuk membangun sekolah di desa mereka, bahkan dia pun minum teh bersama tentara Thaliban yang sangat ditakuti itu.

Sekarang Greg Mortenson adalah Direktur CAI (Central Asia Institute, Institut Asia Tengah). Dia menghabiskan beberapa bulan dalam setahun untuk membangun sekolah-sekolah di Pakistan dan Afghanistan. Dia tinggal di Montana bersama istri dan anak-anaknya.

Buku ini adalah sebuah kisah nyata yang menakjubkan, dengan latar belakang keindahan desa-desa di lereng gunung es tak terjamah manusia, kekerasan alam Pakistan dan suku-sukunya dengan adat istiadat yang beragam, menggambarkan kekerasan dan keteguhan hati seorang Greg Mortenson tentang kepeduliannya akan kemanusiaan, semua ketabahan yang ditunjukkannya dalam menghadapi rintangan akan membuat siapapun yang membaca buku ini akan merasa malu atas apa yang sudah ia lakukan.
Aku rekomendasikan buku ini sebagai  worth to read.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Love Story (Erich Segal)

Dimanakah Hari Tuaku Berada?