Ada cerita di musim duku tahun ini...


Musim buah duku adalah musim yang paling aku nantikan sepanjang tahun, maklum saja sepanjang tahun pohon duku hanya berbuah satu kali dan biasanya musimnya dimulai setelah musim hujan berakhir. Tahun ini buah duku melimpah ruah. Aku yang sangat menggemari buah duku hampir tiap hari membelinya, apalagi harganya di Bengkulu lumayan murah hanya sekitar 4 – 5 ribu perkilo. Duku Jambi adalah favoritku dibandingkan dengan duku Muara Enim atau Rupit, karena buahnya besar dan sangat manis, juga tanpa biji! Wooww kebayang kan saat kita menguliti kulit buahnya dan di dalamnya terdapat daging buahnya yang putih jernih dan tanpa biji pula, huff aku biasanya langsung memasukkannya ke dalam mulut tanpa perlu memisah-misahkan bulir-bulirnya itu.

Selama musim duku ini sepulang dari kantor aku tidak lupa membeli paling sedikit 2 kilogram buah duku, itu biasanya aku habiskan dalam waktu kurang dari 1 jam….
Tapi pengalamanku membeli duku ini menarik, ada saja kejadian lucu, manis dan menyebalkan saat membelinya. Sekali aku berniat membeli duku yang kelihatannya buahnya segar-segar dan besar-besar, setelah sampai di rumah ternyata buah duku yang besar-besar yang aku lihat tadi sudah bercampur dengan duku-duku kecil yang rasanya asam. Kesal rasanya dalam hati, kenapa pedagang itu tidak memisahkan saja duku-duku yang besar dengan yang kecil lalu menjualnya dengan harga yang berbeda sehingga pembeli tidak merasa tertipu. Kali lain saat membeli duku aku memilih-milih sendiri buah duku yang besar-besar dan masih segar, eh pedagangnya malah marah-marah dan langsung menyeroki dengan piring plastik (?) buah duku yang berada di dekatnya. Huhh aku jelas saja kesal dan marah, aku kan beli bukan minta, hakku dong sebagai pembeli memilih barang yang terbaik, aku laporkan ke YLKI tau rasa ibu itu (ancamku dalam hati).

Nah tapi ada juga pengalaman manisnya, semanis rasa duku yang dijual pedagangnya, sedang di atas becak sepulang dari kantor, aku melihat pedagang duku musiman yang berjualan di atas mobil dengan bak terbuka di pinggir jalan, aku langsung menghentikan becakku “pak berhenti sebentar ya, saya mau beli duku itu…” bapak tukang becak segera menepikan becaknya. Karena melihat sepertinya buah-buah dukunya besar-besar dan masih segar aku lalu membeli 2 kilogram, kali ini tanpa memilih-milih sendiri karena takut dimarahi pedagangnya seperti pengalamanku sebelumnya. Tak mengapa jika nanti ada yang kecil-kecil dalam hatiku, toh rasanya juga tetap manis. Aku melirik ke bapak tukang becak yang memperhatikanku dari atas becaknya, kasihan pikirku….tapi belum sempat aku berbuat apa-apa tiba-tiba pedagang duku itu mengambil kantong plastik dan mengisinya dengan duku kira-kira setengah kilogram lalu memberikannya kepada bapak tukang becak itu “Pak ini cicip dukunya, ikhlas pak ngasihnya, tolong doakan daganganku hari ni laris ya pak”. Aku terpana, Bapak tukang becak itu langsung meloncat dari tempat duduknya dan dengan gembira menerima kantong dari tangan pedagang tersebut. “Terima kasih banyak nak, dari kemaren belum bisa nyicipin duku-duku yang dijual orang ni, pengen rasanya…”
Adduh…daging duku yang ku telan terasa nyangkut di tenggorokan (pedagangnya membolehkan pembeli mencicipi duku yang dijualnya untuk memastikan rasanya memang manis), aku tidak tahu apa yang membuatku terharu, kecepatan pedagang itu berbuat baik ataukah pernyataan bapak tukang becak yang lugu itu…

Dalam perjalanan pulang aku tersenyum, hidup itu kalau diibaratkan buah duku kadang dapat yang manis, kadang juga dapat yang asem, kadang juga malah dapat yang pahit (kalau tidak sengaja tergigit bijinya...)


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Love Story (Erich Segal)

Resensi Buku : Three Cups of Tea

Dimanakah Hari Tuaku Berada?