Merapikan Kenangan

Selalu kucari cara agar kenangan-kenangan yang sudah lalu bersama orang tuaku bisa kurasakan lagi. Membongkar barang-barang peninggalan mereka adalah salah satu caraku menghidupkan kenangan bersama mereka, kali ini aku akan membongkar buffet besar di ruang tengah tempat buku-buku bapak dan beberapa perabotan milik mama dulu.


Aku rapikan dan bersihkan buku-buku peninggalan bapak kemudian aku kembalikan lagi ke tempatnya, dulu almarhum bapak sangat gemar membaca, mungkin dari situlah aku mewarisi hobby membaca novelku ini. Menurut mama saking senangnya bapak membaca nama-nama kami diambil dari nama pengarang buku yang dibacanya, nama depanku diambil dari nama depan pengarang novel, nama kakak laki-lakiku Henderzon  juga berasal dari nama pengarang buku anak-anak yang terkenal Hc. Anderson, begitu juga nama belakang adik perempuanku Magdalena katanya juga berasal dari nama pengarang buku. Tapi lucunya sampai hari ini aku dan adikku belum menemukan novel yg nama pengarangnya mirip nama kami, akhirnya kami sepakat kami tidak bisa menemukan nama pengarang yang dimaksud karena nama-nama itu sudah dimodifikasi sedemikian rupa oleh bapakku sehingga lebih enak didengar...

Beberapa barang milik mama yang sudah tak terpakai lagi aku masukkan ke dalam kardus besar. Sekarang buffet besar itu terlihat lebih rapi dan bersih, tidak bersesakan barang lagi seperti sebelumnya. Kardus besar yang berisi barang-barang yang sudah tidak dipakai lagi aku bawa ke halaman belakang, mumpung hari panas sebaiknya dibakar bersama dengan sampah-sampah dari daun mangga yang kering pikirku.
Aku kembali ke dalam rumah untuk mengambil korek api, tapi sewaktu kembali kebelakang  ku lihat ada seorang ibu memakai topi yang hampir menutupi wajahnya sedang berjongkok membongkar kardus dan disampingnya berdiri anak perempuan berusia empat tahunan memeluk boneka kura-kura usang yang sudah kubuang tadi. Ibu itu terkejut melihat kedatanganku, anaknya langsung menyembunyikan boneka kura-kuranya ke belakang badannya.
"cari apa bu." sapaku tak ramah..
"ini cari barang barang yang mungkin masih bisa dipakai" kata ibu itu takut-takut.
Ooo ibu ini pemulung pikirku.
 "Tinggal di mana bu?" kataku lembut menyesal tadi menyapanya tidak ramah.
"Itu di sana" telunjuknya mengarah ke arah deretan rumah kontrakan di seberang, aku terkejut ternyata ibu itu tetanggaku.
"baru ya bu tinggal disini." tanyaku lagi.
"oo udah lama...dulu ibu (almarhumah mamaku) sering ngasih barang-barang yang udah ga dipakai lagi ke kami"
"ibu itu orangnya baik, kalau ada mangga atau nangka masak kami pasti dibagi"
"apalagi kalau lebaran kami selalu menunggu-nunggu ketupat kiriman ibu"
"itulah kalau orang baik itu pasti cepat dipanggil tuhan karena tuhan lebih sayang..."
ibu itu terus saja bicara sambil tangannya dengan lincah memasukkan barang-barang yang sudah dipilihnya ke dalam karung besar.

Susah payah aku menahan air mata yang tiba-tiba saja ingin berloncatan keluar, aku terus menunduk pura-pura asik memisahkan barang barang yang masih layak dipakai
"nah...udah selesai...makasih banyak yaa" ibu itu berdiri mengangkat karungnya,sebagian besar isi kardus yang tadi akan kubakar sudah berpindah ke dalam karung itu.
" iya bu...sama sama" kataku lirih, kutunggu sampai ibu itu berlalu baru kembali kedalam rumah.

Ibu itu mengingatkanku pada kenangan bertahun tahun lalu sewaktu bapak baru meninggal, kami sekeluarga pernah  dikejutkan oleh kedatangan suami istri yang terhitung keluarga jauh, maksudnya mereka adalah keluarga bukan karena hubungan kekerabatan melainkan karena berasal dari daerah yang sama dengan almarhum bapakku. Tamu kami suami istri itu menangis menceritakan bahwa bapakku almarhum dulu membelikan mereka sepeda motor dengan cara kredit, itu karena bapak kasihan melihat temannya itu selalu berjalan kaki karena tidak punya kendaraan. Saat itu mamaku hanya diam saja, karena mama tidak pernah tahu masalah tersebut.

Waktu tamu itu sudah pulang mama menyatakan keheranannya padaku dari mana bapak punya uang membayar angsuran kredit tiap bulan sedangkan uang gaji dan bonus bapak selalu disetorkan ke mama setiap bulan tidak boleh kurang sedikitpun. Bapak slalu punya cara untuk membantu orang kata mama sambil tersenyum. Waktu itu aku hanya diam saja, bagiku tidak heran bapak seperti itu karena di keluarga besar bapak beliau memang terkenal tidak tega dan mudah kasihan melihat kesusahan orang.

Cerita tentang almarhumah mama juga tak kalah banyaknya. Pernah suatu ketika aku diberi sayur oleh tukang sayur keliling yang biasa lewat di depan rumahku "dulu setiap hari ibu pasti beli sayur dengan saya, sekarang rasanya ada yang kurang kalau lewat rumah ini tidak ada ibu" kata tukang sayur itu menjawab keherananku. Atau kali lain aku dipaksa tukang jamu gendong membeli jamunya "ibu dulu slalu minum jamu saya mbak" katanya, dan dengan terpaksa aku meminum jamu pahit yang sama sekali tidak kusukai itu.

Begitulah aku mengumpulkan kenangan-kenangan tentang kedua orang tuaku yang tersimpan di sana-sini. Almarhum kedua orang tuaku tidak hanya meninggalkan kenangan yang dalam di rumah yang kami tempati berpuluh-puluh tahun, tapi juga kepada orang-orang disekeliling mereka, yang bergaul dan bekerja dengan mereka. Kenangan itu berserakan dan melekat di setiap hati yang pernah mereka sentuh...



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Love Story (Erich Segal)

Resensi Buku : Three Cups of Tea

Dimanakah Hari Tuaku Berada?