Antara menghargai dan memberi harga sebuah karya

Sudah hampir satu bulan ini aku secara otodidak mempelajari seni membuat bunga dari kain yaitu hana kanzashi. Sesuai namanya hana kanzashi berasal dari negara jepang. Bahan dasar hana ( dalam bahasa Jepang artinya bunga) kanzashi umumnya adalah sutera. Teknik pembuatannya disebut tsumami, secara harfiah adalah mencubit, maknanya ‘mencubit’ sepotong kain persegi dengan dua jari lalu membentuknya.  Ini adalah sebuah teknik yang dikenal sejak Jaman Edo (1603 – 1868) di Jepang (sumber : wikipedia). Bunga-bunga itu kemudian dirangkai menjadi kanzashi yang artinya  adalah hiasan rambut para wanita di Jepang saat mereka menggunakan kimono, bentuknya disesuaikan dengan musim saat itu, kadang berbentuk bunga plum, lotus kupu kupu.
Dari youtube aku belajar cara membuat sebuah bunga atau kupu kupu, awalnya tak begitu mudah membuatnya sehingga bunga yang kuhasilkan belum begitu rapi. Tapi dengan kesabaran dan ketekunan akhirnya aku berhasil membuat beberapa bunga dan kupu-kupu yang cukup indah menurutku. Bunga dan kupu-kupu itu lalu kupasangkan peniti di bagian belakangnya untuk kujadikan sebagai bros penghias jilbabku ke kantor. Karena menurutku hasil karyaku cukup indah maka dengan bangganya aku mengupload fotonya ke jejaring sosial milikku. Tak kusangka banyak  teman yang terpesona dengan hasil karyaku itu.

Esoknya dengan percaya diri aku memberanikan diri memakai bros bungaku ke kantor, beragam reaksi muncul dari teman-temanku, ada yang meminta dibuatkan, ada juga yang minta diajarkan cara membuatnya. Aku dengan senang hati mengajari mereka cara membuatnya walau tidak semuanya mampu membuatnya karena proses pembuatannya ternyata cukup rumit dan memerlukan kesabaran yang tinggi. Karena cukup banyak yang ingin membeli bross bunga buatanku, maka aku memberi harga pada sebuah brosku itu sebanyak rp. 10.000,- sebagai pengganti harga kain, permata dan peniti yang kubeli. Sebenarnya aku merasa sayang menghargai brosku itu sepuluh ribu rupiah, karena untuk menghasilkan sebuah bross bunga atau kupu-kupu aku membutuhkan waktu hampir satu jam. Mulai dari mengukur bahan menjadi bujur sangkar, mengguntingnya dengan rapi, membentuknya menjadi kelopak-kelopak bunga dengan teknik tsumami lalu merekatkannya dengan lem satu persatu hingga membentuk sebuah bunga. Jari-jariku pun pernah melepuh terbakar lem lilin yang sangat panas hingga aku menangis saking perihnya, tetapi itu semua tidak membuat aku jera membuatnya. Ada kebanggan tersendiri saat melihat teman-teman di kantor dengan senang memakai bross buatanku. Namun masalah selera tidak selalu sama setiap orang, bagaimanapun banyaknya teman-teman yang dengan suka cita memakai bross bunga buatanku, tetap saja ada sebagian teman yang sama sekali tidak tertarik. Menurutku itu hal yang wajar karena setiap orang punya selera yang berbeda

Beberapa teman dekat kubuatkan secara cuma-cuma, sebagai hadiah dan kenang-kenangan dariku agar mereka selalu ingat kepadaku jika kami sudah berpisah nanti. Tetapi ada satu kejadian yang membuat aku mengerti tentang betapa berharganya sebuah karya. Dulu aku pernah membaca cerita tentang seorang pelukis yang tidak ingin menjual lukisannya yang sudah ditawar dengan harga jutaan rupiah, tetapi dia mau memberikan  lukisannya itu secara cuma-cuma kepada seseorang yang sangat menghargai lukisannya. Hal itulah yang terjadi padaku, walau pun tentu saja tidak sebanding dengan lukisan itu karena bross bunga buatanku bukanlah sebuah hasil karya yang bernilai tinggi.

Seorang teman yang cukup dekat denganku ingin membeli bross bunga buatanku ,awalnya aku ingin memberikan secara cuma-cuma kepadanya, tetapi kalimat-kalimat yang keluar dari mulutnya kemudian mengubah pikiranku. Jangankan memberikannya secara cuma-cuma, menjualnya dengan harga yang mahal pun kepadanya aku tidak mau.
“berapa harga satu brosnya?” katanya saat kami sedang berkumpul makan siang di kantin.
“Sepuluh ribu saja…” jawabku sambil tersenyum.
“Tiga buah dua puluh lima ribu ya” temanku menjawab lagi.
Aku hanya diam saja, asik mengaduk-aduk mie goreng di hadapanku, kemudian dia melanjutkan lagi “aku pesan doong. mau yang warna merah hati,hijau muda dan coklat... permatanya disamakan dengan warna bahannya, trus bikinnya yang rapi dong, dan jangan lama-lama..uangnya nanti kalau udah jadi...” mulutnya mengerucut waktu mengucapkan klimat-kalimat itu sambil matanya melirik ke arah bross yang kupakai. Entah apa yang ada di benaknya saat mengucapkan kalimat-kalimat itu, mungkinkah menurutnya bross yang kupakai warnanya tidak cantik, mungkin terlihat tidak rapi di matanya? Tetapi kenapa dia masih mau memesan juga, dan menawar dengan harga yang serendah-rendahnya?

Aku terhenyak mendengar kalimat-kalimat itu, diam saja aku tidak membalas ucapannya dan pura-pura sibuk dengan makananku. Ada perasaan sedih yang tiba-tiba menjalar dalam hatiku. Jadi seperti itulah, baginya bross bunga buatanku tidak lebih sebagai barang yang akan dibelinya, bila perlu dengan harga semurah-murahnya tetapi dengan hasil yang sebaik- baiknya. Tidak ada yang salah sebenarnya dengan sikapnya itu, dia menganggap dirinya sedang membeli sebuah barang, menawar dan memberi harga yang pantas menurutnya. Sementara aku sedih karena aku menghargai karyaku lebih tinggi darinya, bukan dengan nilai rupiahnya tetapi dengan cara orang lain memakai bros buatanku, aku bahkan rela memberikannya secara cuma-cuma asalkan orang yang menerimanya itu mau memakainya dengan senang.

Aku membandingkannya dengan seorang teman yang dengan suka cita memakai bross buatanku di atas jas dokternya, bahkan juga memakainya ke acara pesta yang cukup bergengsi di kota kami. Aku memberikannya secara cuma-cuma kepada mereka, karena mereka menghargai bross buatanku demikian tinggi. Sementara temanku yang satu ini hanya memberi harga pada bross buatanku, dan aku tidak sanggup membuatkannya, bukan karena merasa harga yang diberikannya terlalu rendah tetapi aku takut dia akan mencela bross buatanku jika tidak sesuai keinginannya karena merasa telah membayar harga yang pantas menurutnya.

Aku bergegas menghabiskan makananku kemudian berdiri hendak meninggalkan kantin. Sambil diam aku berlalu tapi masih sempat aku mendengar suara temanku berteriak “kapan jadinya…pokoknya yang bagus yaa..” aku hanya tersenyum kecut.

Kali ini aku belajar perbedaan tentang menghargai dan memberi harga sebuah karya. Bagiku karyaku bernilai tinggi karena aku membuatnya dengan suka cita, kesabaran, ketelatenan, kelembutan bahkan juga pengorbanan dengan jari-jari yang melepuh terkena lem panas. Aku berjanji akan selalu berusaha menghargai sebuah karya yang dihasilkan orang lain, walau mungkin karya orang lain itu tidak indah di mataku. Seperti kata dosenku dulu sewaktu kuliah, lebih mudah menilai hasil (memberi harga) karya orang lain daripada menghasilkan sebuah karya.

Sebagian hana kanzashi yang berhasil kubuat....semoga menginspirasi..





Komentar

  1. ku tau type orang yg mau beli tu

    BalasHapus
    Balasan
    1. Makasih pak udah komen di tulisan saya, iya akan slalu ada warna dalam kehidupan yang kita jalani..walau kadang terkejut menghadapinya...

      Hapus
  2. Org sprti itulah yg akan membuat kita semakin kuat utk terus berkarya tika...jgn bersedih dg sikap org itu ya...semangat!!!

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya mba...tak selalu harus warna-warna lembut yang tergambar di kanvas kehidupan, warna hitam pun diperlukan untuk membuatnya semakin hidup...makasih mba...

      Hapus
  3. benar ^_^
    kadang memang mereka hanya melihat hasil, tidak melihat prosesnya

    tetap semangattttt

    http://toko-aksesoris-elmora.blogspot.com/

    BalasHapus
  4. makasih mba dini...penyuka kanzashi juga kah? saya dah berhasil bikin banyak sekali...:-)

    BalasHapus
  5. Saya ngalamin perasaan itu juga mba, meskipun saya punya niat untuk menjual karya saya namun ketika yang membeli memberi harga murah, saya sedikit kecewa. Meskipun kecil tapi saya membuatnya dengan penuh rasa senang dengan harapan yang memakainya pun ikut senang. Nyatanya karya saya hanya dihargai sebatas ukuran.
    Saya menganggap hal tersebut sebagai penguat tekad, sehingga membuat saya bisa lebih berkembang.
    Semangat mba,,. Salam crafter :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. betul mba seharusnya itu membuat saya jadi semakin berkembang, bukan malah kecewa lalu tidak semangat untuk membuat karya yang lebih baik lagi....terima kasih atas kunjungannya mba dwi...:-)

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Love Story (Erich Segal)

Dimanakah Hari Tuaku Berada?

Resensi Novel :Ranah Tiga Warna