Pohon salam di samping rumah

Sebatang pohon salam tumbuh rindang di samping rumahku, daun-daunnya rimbun memberikan keteduhan. Setiap hari aku harus menyapu daun-daunnya yang kering berguguran. Dulu mama menanamnya untuk memakai daunnya sebagai obat, beberapa lembar daunnya ditambah dengan sepotong kunyit direbus, kemudian air rebusannya diminum setiap pagi. Dengan ramuan itu dulu mama berhasil mengobati penyakit asam uratnya. Bibit pohon salam itu didapat dari ibu kosku,  dan dengan tangan dinginnya mama berhasil menumbuhkan pohon salam yang tadinya hanya bibit yang sangat kecil hingga menjadi batang pohon yang besar dan rindang. Sayangnya dulu mama menanam pohonnya terlalu dekat ke tembok samping rumah, seiring waktu dahannya yang semakin bertambah rimbun mulai menyeberang ke atap rumah tetangga. Tetanggaku sendiri tidak pernah mengeluh walaupun selama ini mereka juga harus menyapu daun-daunnya yang kering setiap hari. Tapi aku merasa tidak enak karena pastilah tetanggaku sebenarnya cukup terganggu dengan daun-daun kering yang berguguran itu. 
Aku meminta adikku untuk menebang habis saja pohon salam itu, karena jika hanya dahannya yang dipangkas nanti juga akan tumbuh lagi sehingga merepotkan harus berkali-kali dipangkas. Apalagi sekarang pohon salam itu sudah sangat besar, akarnya mulai memecah pondasi tembok, jadi tidak ada pilihan lain pohon salam itu memang harus ditebang. Awalnya adikku masih enggan, mungkin teringat bagaimana mama dulu sangat menyayangi pohon obatnya itu, tapi akhirnya dia mengalah juga.
Adikku dibantu salah seorang sepupuku mulai memangkas sedikit  demi sedikit dahan pohonnya yang rimbun. Beberapa ibu-ibu tetangga yang tahu pohon itu akan ditebang mulai berdatangan meminta daunnya untuk dijadikan bumbu dapur. Akhirnya aku ikut memotong-motong ranting pohonnya yang kecil untuk dibagikan ke tetangga yang menginginkannya tak lupa kusisakan beberapa ranting pohon dengan daunnya unuk kusimpan sebagai bumbu dapur. Aku lepaskan sehelai daunnya dari tangkainya dan kucium, tidak tercium bau yang wangi sekali, hanya samar-samar saja ada bau wangi yang tercium. Aku patahkan kayu rantingnya yang kecil, wanginya juga hanya tercium samar-samar. Akhirnya aku mengambil buahnya yang kecil berwarna merah dan kugigit, terasa getir dan sedikit manis.

Walaupun begitu aku hampir tidak pernah meninggalkan daun salam sebagai bumbu dalam masakanku. Menumis sayur pakai daun salam, memasak daging dan ikan juga memakai daun salam. Ada yang kurang rasanya jika tidak menambahkan beberapa lembar daun salam ke dalam masakanku, dan dengan tumbuhnya pohon salam itu disamping rumah  aku jadi tidak pernah kehabisan daun salam di dapur.
Daun salam memang berbeda dengan daun jeruk yang baunya sangat khas, berbeda dengan daun seledri atau daun kemangi. Dari semua daun-daun yang digunakan sebagai bumbu itu, daun salam yang wanginya paling tidak menonjol. Daun salam itu sederhana, baunya tidak terlalu wangi semerbak, dia juga tidak menambah sedap rasa, tetapi karena kesederhanaannya itu terasa ada yang kurang jika dia tidak ada. Tak sempurna rasanya masakan seenak apapun jika tidak ditambahkan daun salam. Bisa saja dia ditinggalkan, tapi tak lengkap kesempurnaan itu jadinya.
Kesederhanaan yang melengkapi kesempurnaan. Aku tersenyum, dalam hati aku berkata, seperti itulah aku ingin dikenang, saat aku tiada nanti aku ingin orang tersenyum saat namaku disebut, tak perlu komentar, tak perlu pujian, hanya tersenyum saja...
Tak terasa dahan-dahan pohon yang rimbun sudah habis dipangkas, sekarang adikku tinggal memotong batang utamanya yang besar dengan gergaji. Hanya sedikit daun salam yang dapat disimpan karena dengan cepat akan mengering, sisanya bersama dengan dahan dan batangnya yang besar dibuang di halaman belakang untuk dibakar jika sudah kering nanti. Halaman samping yang tadinya teduh sekarang jadi lebih terang dan panas. Ibu-ibu yang tadi berdatangan sudah kembali ke rumahnya masing-masing. 

Aku memandang ke pokok pohon yang tersisa, selama ini kehadiran pohon salam itu hampir tidak pernah kusyukuri walaupun hampir tiap hari aku memetik daunnya dan menggunakannya. Sekarang saat pohon salam itu sudah tidak ada, aku mulai berpikir beberapa hari ke depan sepertinya aku sudah harus mulai membeli daun salam di pasar. Karena begitulah seharusnya daun salam itu, betapapun sederhananya dia tetap harus ada. Kesederhanaan yang melengkapi kesempurnaan...

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Love Story (Erich Segal)

Resensi Buku : Three Cups of Tea

Dimanakah Hari Tuaku Berada?