Sabang Nan Elok


Tak lengkap rasanya kalau sudah ke Aceh tapi tidak mengunjungi Pulau Weh, pulau paling barat Indonesia dimana titik 0 kilometer bermulai. Maka setelah puas mengelilingi Kota Banda Aceh dan mengunjungi bangunan-bangunan bersejarah, keesokan harinya kami bersiap-siap mengunjungi Pulau Weh.

Pagi hari dengan menggunakan sepeda motor temanku kami menuju Pelabuhan Uleue leu, namanya sangat sulit kuucapkan tapi ternyata cara membacanya hanya ule le saja, kata temanku sambil berkelakar "tulisannya boros padahal bacanya pendek aja....". Kami menyempatkan sarapan di sana sembari menunggu kapal siap diberangkatkan.

Selesai sarapan kami segera naik ke dalam kapal cepat, di dalamnya ternyata sudah ramai penumpang. Ruang penumpang dibagi dua kelas yaitu ekonomi dan vip, kami hanya membeli tiket kelas ekonomi. Perjalanan ternyata tidak terlalu lama tidak sampai 30 menit kami sudah merapat di Pulau Sabang tepatnya di Pelabuhan Balohan. Khas cuaca daerah dekat pantai, panas langsung menyergap wajah. Untunglah sopir mobil yang akan kami sewa sudah menunggu untuk mengantar kami.


Mobil yang kami sewa ternyata adalah sebuah sedan yang umurnya sudah cukup tua, sopirnya seorang bapak berusia 50 tahunan dengan logat aceh yang khas. Jarak dari pelabuhan ke Kota Sabang ternyata lumayan jauh, jalannya juga berbukit-bukit sehingga tidak jarang mobil kami terseok-seok menaiki jalan yang mendaki cukup tinggi. Kami memilih jalan yang langsung menuju ke Desa Iboih karena rencananya kami akan menghabiskan waktu sampai sore di Pulau Rubiyah. Dalam perjalanan tak jarang kami berpapasan dengan turis-turis asing yang menyewa sepeda motor,  menurut sopir kami banyak warga negara asing yang memiliki rumah peristirahatan atau villa di Pulau Sabang ini.
Sebelum sampai ke Desa Iboih kami singgah sebentar ke tugu titik nol, yang mengagetkan adalah kedatangan kami disambut oleh seekor babi hutan dan beberapa ekor monyet. Aku dan seorang temanku yang wanita langsung ketakutan melihat babi hutan berwarna hitam yang sepertinya jinak sekali, sopir kami berbaik hati mengawal kami agar tidak didekati babi hutan itu. Tidak hanya itu saja, monyet-monyet hitam dengan nakalnya mengganggu kami, mungkin mereka ingin minta makanan, sayang waktu itu aku tidak membawa makanan sama sekali. Dengan berlari lari kami akhirmya bisa selamat menaiki tangga menuju monumen titik nol berada. Di belakangku temanku terbahak-bahak menyaksikan beberapa orang anak muda yang wajah dan pakaiannya mirip anggota boy band korea menjeri-jerit diganggu monyet-monyet, monyet-monyet itu pun bersuara riuh rendah melihat tingkah anak-anak muda yang ketakutan itu.
Puas berfoto foto di monumen titik nol, kami melanjutkan perjalanan lagi menuju Desa Iboih. Dari kejauhan sudah terlihat pantai iboih dengan pasir putih dan laut biru yang menghijau sangat tenang tak terusik ombak dan gelombang. Perahu perahu motor tertambat di pinggir pantai dengan rapi. Beberapa penduduk menyewakan peralatan menyelam dan snorkeling di depan rumah mereka. Setelah tawar menawar harga sewa perahu dan peralatan snorkeling, tidak lupa membeli nasi bungkus untuk dimakan di pulau akhirnya kami berangkat ke Pulau Rubiyah.

Perahu motor kami melaju di ketenangan laut yang sangat Dari atas perahu kami bisa menyaksikan ikan berwarna-warni berenang dengan bebas. Aku bahkan menyiduk air laut dengan tanganku dan mencicipinya, terasa asin di lidah. Airnya yang sangat tenang tidak berombak sama sekali membuatnya terlihat seperti danau bukan laut, sangat berbeda dengan pantai di darahku yang berombak tinggi.

Tidak sampai lima menit, kami merapat di Pulau Rubiyah. Pulau kecil yang dulu mejadi tempat persinggahan orang-orang yang akan naik haji. Aku dan teman-teman langsung snorkeling melihat indahnya karang di dalam laut dan mengejar ikan berwarna-warni yang sangat indah. Lelah juga rasanya mengejar ikan ikan kecil yang indah, kami akhirnya bersantai di pinggir pulau dan menyantap nasi bungkus yang sudah dibeli tadi.

Selesai makan temanku mengajak melihat bangunan bekas karantina haji dan makam calon-calon haji yang meninggal di pulau ini. Kami mampir di rumah penduduk yang nampaknya hanya satu satunya di pulau itu, aku sempat memotret poster di dinding rumah penduduk itu, sulit sekali mengerti bahasa penduduk disini, walaupun satu rumpun melayu tapi bahasa aceh sudah sangat jauh berbeda dengan  bahasa-bahasa daerah lainnya di Sumatera.

 Kami menyusuri jalan setapak yang mendaki menuju ke tempat karantina haji, tapi sampai ditengah perjalanan jalan setapak yang dilapisi aspal tipis itu nampak semakin rusak. Aneh sekali batu batu besar mencuat dari dalam tanah dan memecah jalan aspal itu, rasanya tidak mungkin dulu orang membuat jalan itu di atas batu-batu itu. Apakah batu itu tumbuh dari dalam tanah, apakah karena gempa bumi sehingga batu itu keluar, entahlah kami tidak tahu jawabannya. Makin ke atas batu-batu itu semakin besar, dan sekarang jalan itu benar benar tertutup oleh tumbuh-tumbuhan yang menyemak, sampai disitu perjalanan kami tidak bisa diteruskan lagi. Aku kecewa karena kami harus kembali, begitu juga beberapa pengunjung yang rupanya mengikuti kami naik tadi.

Menjelang sore akhirnya kami memutuskan untuk kembali karena kami masih harus naik kapal cepat untuk kembali ke Kota Banda Aceh. Perahu kami kembali mendarat di Desa Iboih yang tenang. Sopir kami yang setia sudah menunggu di dalam mobil.






Perjalanan pulang kembali ke Banda Aceh terasa lebih cepat, menjelang magrib kami sudah kembali merapat di Pelabuhan Uleu leu.

Banyak sekali kenangan yang aku dapatkan dari perjalananku ke Banda Aceh dan kePpulau Weh. Kisah kepahlawanan Kota banda aceh yang perwira, orang orangnya yang tabah, warung kopinya yang merakyat, Sabang yang tenang dan elok, aku bersyukur kepada Allah diberi kesempatan menginjak tanah para pejuang ini...

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Love Story (Erich Segal)

Resensi Buku : Three Cups of Tea

Dimanakah Hari Tuaku Berada?