Semangkuk mie rebus menceritakan satu hal

Cerita kali ini masih terjadi di pasar, entah kenapa banyak sekali hal-hal menarik yang terjadi dan bisa kuamati di pasar. Mungkin karena semua orang dengan beragam karakter terkumpul dalam satu tempat, sehingga menimbulkan banyak cerita..
Hari ini aku pergi ke tukang jahit untuk membuat kancing bungkus, yaitu kancing yang dilapisi dengan bahan kain untuk baju. Proses pengerjaannya menggunakan alat sederhana yang biasanya hanya dimiliki tukang jahit di pasar. Cukup banyak kancing yang akan kubuat, jadi sambil menunggu ibu-ibu pemilik los jahit mengerjakannya aku duduk di sudut losnya sambil memperhatikan orang lalu-lalang. Los ibu ini cukup ramai, ada orang yang mengobras kain, meneci atau hanya sekedar berbelanja peralatan menjahit. Kebetulan pula letak los ini berhadapan dengan warung kopi yang juga sangat ramai, mungkin karena sekarang adalah jam makan siang para sopir angkot dan tukang ojek di pasar itu. Dari tempat dudukku aku memperhatikan pelayan warung bolak-balik menyajikan makanan dan minuman kepada pengunjung yang bahkan duduk di bawah pohon karena tidak kebagian duduk di dalam warung.

Tepat di seberangku aku memperhatikan seorang bapak yang duduk santai di bawah pohon rindang, nampaknya dia juga sedang menunggu pesanan makanannya. Tangannya mengipas-ngipas mukanya dengan pecinya. Posisi dudukku yang berseberangan tapi kadang terhalang orang lalu-lalang membuat aku leluasa memperhatikan bapak itu. Tidak ada yang mencolok sebenarnya, dia memakai kaos bergambar partai yang warnanya sudah tidak jelas, mungkin tukang ojek atau pedagang di pasar ini pikirku. Bapak itu terlihat sangat nyaman di bawah pohon rindang sehingga aku tertarik untuk memperhatikannya.

Tak lama kemudian pelayan mengantarkan semangkuk mie rebus pesanannya, asap terlihat masih mengepul dari mangkuknya. Bapak itu langsung melahap mi rebusnya dengan sangat cepat, sesekali tangannya melap keringat yang mengalir di keningnya. aku memperhatikan terus bagaimana Bapak itu makan dengan nikmatnya, pasti enak sekali rasanya mie rebus itu, terpikir olehku nanti sesampai di rumah aku akan membuatnya juga untukku.

Setelah menuggu sekian lama akhirnya kancing yang kupesan sudah selesai, aku pun beranjak pulang. Sampai di rumah setelah membereskan semua barang belanjaan aku merasa lapar, teringat bagaimana Bapak yang di pasar tadi makan mie dengan lahapnya aku jadi ingin makan mie rebus juga. Di kulkas tersedia cukup banyak bahan makanan, maklum kalau awal bulan aku biasa membeli bahan makanan dalam jumlah cukup banyak, jadi mie rebus yang kubuat tidak sekedar mi instan biasa, tapi kutambahkan juga potongan sayuran dan telur rebus..hmm...wanginya benar-benar  membuat terbit air liurku.

Sambil menonton televisi aku menikmati mi yang kubuat, tapi baru beberapa suapan saja perutku sudah tidak bisa menikmati lagi mie rebus itu, padahal masih lebih dari separuh mie yang tersisa, aku coba paksakan menikmati lagi tapi tetap saja ada perasaan segan untuk mengunyahnya, bukan karena kenyang tapi karena aku memang tidak bisa menikmati mie rebus itu, aneh mengapa Bapak itu tadi bisa menikmati semangkuk mie rebus dengan nikmatnya, sedangkan aku tidak? Akhirnya aku menyerah dan menyisakan mie yang masih banyak dalam mangkuk. Terbit rasa sesal di hatiku karena begitu sering aku menyisakan makanan dalam piringku.

Mengapa semangkuk mie rebus yang sama tidak bisa kunikmati seperti Bapak itu tadi menikmatinya, mengapa ada orang yang bisa makan dengan nikmat walau hanya dengan sepiring nasi dan sepotong tempe, apa yang membuat sepiring makanan yang sama menjadi berbeda kenikmatannya?
Sambil istirahat dan menonton tv aku masih memikirkan sisa mie rebus tadi, seandainya aku makan mie rebus tadi bersebelahan dengan Bapak itu, dia pasti akan heran melihatku yang tidak menghabiskan makananku. Mungkin bapak itu tidak punya pilihan makanan lain jadi dia sangat bersyukur karena masih punya uang untuk membeli mi rebus, sementara aku masih menyimpan banyak makanan lain di kulkas. Apakah rasa syukurnya itu yang membuat sepiring makanan menjadi begitu enak dan lezat. rasa syukur karena masih bisa makan, syukur karena masih diberi kesehatan untuk bisa menikmati makanan. mungkin karena itulah mengapa tadi bapak yang di pasar itu bisa menikmati semangkuk mie rebusnya dengan suka cita sementara aku tidak...

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Love Story (Erich Segal)

Resensi Buku : Three Cups of Tea

Dimanakah Hari Tuaku Berada?