Sisakan ruang untuk harga dirinya

Seorang saudara jauh datang berkunjung, setelah berbasa-basi karena sekian lama tak berjumpa akhirnya cerita berlanjut sekitar keadaan ekonomi keluarganya yang alhamdulillah semakin membaik. Rupanya saudaraku itu sekarang sudah mempunyai pekerjaan tetap dengan gaji yang yang lumayan sebagai tenaga bersih-bersih di sebuah universitas besar di kota. Tentu saja ini kabar yang menggembirakan mengingat perjuangannya bersama suami menghidupi keluarga selama ini,  apalagi mencari pekerjaan sangatlah susah, jangankan untuk yang berpendidikan biasa sepertinya sedangkan untuk yang sudah berijazah sarjana saja sangat sulit. 

Cerita berlanjut penuh kesyukuran,  dengan semangat dia menceritakan pekerjaannya di kantor, aku mendengarkan dengan antusias. Sampai kemudian cerita menjadi terlalu banyak bumbu... 
"Maaf ya jarang main kesini soalnya di kantor sibuk sekali,  rapat dengan rektor,  rapat dengan para dosen, kadang sampai di rumah rasanya sudah cape banget... Bla bla bla... "

Untungnya saat itu dihadapanku tidak ada cermin jadi aku tidak bisa melihat bagaimana perubahan di wajahku.  Susah payah aku mempertahanian wajah tetap antusias mendengarkan seperti semula dan jangan sampai mengeluarkan sepatah kata pun. 

…….

Pada hari yang lain teman-teman-temanku merencanakan perjalanan liburan ke luar kota.   Rencana sudah dipersiapkan dengan matang, mobil travel dan juga hotel sudah dipesan jauh-jauh hari mengingat tempat tujuan kami adalah kota wisata yang cukup diminati orang-orang untuk pergi berlibur.

Tiba-tiba saja seorang teman membatalkan niatnya untuk ikut serta,  yang lain berusaha membujuk dan mempengaruhinya agar tidak membatalkan rencana yang sudah matang tersebut tapi temanku tetap berkeras tidak jadi ikut. 

"kenapa tidak jadi ikut? " tanya temanku .
" tanggung ah kalau cuma kesitu,  maunya kalau sudah disana bisa langsung nyebrang ke negara tetangga" jawabnya.
" ya ayo kalau gitu kita langsung nyebrang  mau kemana emangnya? temanku menantang
"tapi kan waktu cuti kita terbatas, ga mungkin kita bisa pergi lama-lama…. bla bla bla" jawabnya.

Aku  dan temanku akhirnya hanya bisa diam mendengarkan alasan tersebut, jauh di dalam hati aku tau persis alasan sebenarnya bukanlah seperti itu,  tapi karena kesulitan keuangan yang sedang dialaminya. Ada perasaan tidak nyaman di hatiku mendengar alasan yang terkesan dicari-cari itu.

……….

Bukan hanya dua kejadian itu saja yang membuat aku berada di posisi yang kurang menyenangkan dan tidak nyaman, tidak nyaman karena harus  menahan diri untuk tetap diam saat aku mengetahui kebenaran dibalik kebohongan yang dilontarkan orang lain. Setengah mati aku berusaha menahan diri untuk tidak merobek kebohongan orang lain hanya untuk melihat harga dirinya terluka.  Sungguh rasanya aku harus terus belajar untuk tetap membiarkan  kebohongan itu tetap disitu karena dibelakangnya ada harga diri yang sedang dilindungi, harga diri yang membuat orang lain bisa  bercerita sedekat itu denganku dan menatap lurus langsung ke mataku.. 
Yaa mutakabbir,  kuatkan iman agar mampu  menyisakan ruang untuk harga diri orang lain.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Love Story (Erich Segal)

Resensi Buku : Three Cups of Tea

Dimanakah Hari Tuaku Berada?