Menawar Harga Diri

“Saya minta tolong Bu, tolong ubah nilai saya jadi A atau B. Saya anak pertama Bu, setelah lulus kuliah ini orang tua saya sudah menyiapkan saya untuk masuk PNS. Kalau IPK saya tidak cukup dari batas minimal saya tidak bisa ikut seleksi PNS dan saya akan mengecewakan orang tua saya Bu, saya mohon Bu…”  Kalimat-kalimat setengah merengek itu keluar dari mulut seorang anak didikku. Tak urung aku terkejut mendengar kata-katanya, nekat juga anak ini pikirku. Hari ini saat ruang dosen sedang sepi dia menghampiriku dan katanya ingin berkonsultasi mengenai topik tugas akhirnya. Nyatanya bukan masalah topik penelitian yang dia utarakan tapi masalah perbaikan nilai, bukan dengan jalan yang seharusnya tetapi dengan jalan mendekati dosennya.
“Memangnya IPK kamu sekarang berapa?” tanyaku sambil mencoba  mengurai rasa kesal yang sudah menguasaiku.
“2,6 Bu..” katanya masih dengan suara memelas
”Trus kalau saya naikkan nilai kamu jadi A, apa cukup untuk ikut tes PNS. Trus memangnya kamu pasti akan lulus tes PNS, saingannya banyak sekali” kutatap wajah mahasiswa didepanku, penampilannya biasa saja, rambut dipotong pendek tidak gondrong seperti kebanyakan anak teknik lainnya. Baju yang dipakai pun hanya kemeja biasa, kancingnya utuh dan dikancing rapi dari atas hingga ke bawah, modelnya juga bukan model yang sedang tren yang banyak dipakai teman-temannya, tidak berkesan mahal. Biasa saja kesanku, tidak urakan malah lebih cenderung rapi dan sekilas mencerminkan dia mahasiswa yang baik.

“Orang tua saya sudah menyiapkan semuanya buat saya Bu, mereka bahkan mau menjual satu-satunya sawah milik kami agar saya bisa jadi PNS. Dari dulu orang tua saya sangat mengharapkan saya bisa jadi pegawai bukan jadi petani seperti mereka Bu”
“Memangnya tahun-tahun kemarin kamu ngapain aja? Malas-malasan?" Aku masih berusaha menahan kesal tapi tak urung kasihan juga melihat wajah memelas di hadapanku.
“Saya ini orangnya bodoh Bu, saya sudah berusaha belajar dengan serius tapi tetap saja nilai-nilai saya jelek” kali ini wajahnya menunduk tidak berani menatapku. 
Perasaan kesal berkecamuk di kepalaku, lama aku terdiam menatap wajahnya. Mahasiswa di depanku ini  jelas-jelas sedang memaparkan ketidakjujuran, pertama dia ingin aku mengganti nilainya dan yang kedua dengan jelas tadi dia mengatakan kalau dia akan menyogok agar lulus tes PNS. Tapi di sisi lain terbersit perasaan iba, kalau aku tidak menuruti keinginannya maka aku sudah menghalangi harapan orang tua anak ini.
Tapi mengapa harus aku yang bertanggung jawab pikirku, biar saja dia memohon kepada dosen yang lain jadi aku terbebas dari masalah ini.
“Kamu udah menghadap ke dosen mana saja” tanyaku.
“Saya tidak berani menghadap ke dosen yang lain Bu, saya takut kena marah”
“Memangnya kamu pikir saya tidak bisa marah?“ Aku menatap tajam ke arahnya, anak itu mengangkat mukanya dan berkata 
“ Maaf Bu, saya hanya berani minta tolong kepada Ibu, jika ibu meluluskan permohonan saya maka saya kemungkinan besar bisa mewujudkan  harapan orang tua saya menjadi PNS, tapi kalau Ibu tidak berkenan tidak mengapa Bu saya mohon maaf…” katanya.

Sebenarnya akan lebih mudah bagiku menolak kalau anak ini mencoba mengimingi-imingiku dengan sesuatu, tapi karena alasannya tentang masa depannya aku jadi ragu-ragu juga. Terbersit keinginan untuk mengganti nilainya, toh tidak akan ada yang tahu juga karena memang aku belum menyetorkan nilai ke bagian akademik, dengan begitu aku telah membantu anak ini pikirku membela diri. 

Tapi bagaimana dengan mahasiswa yang lain, kalau aku meluluskan keinginan anak ini bukankah yang lain nanti juga merasa berhak untuk dibantu. Bagaimana dengan mahasiswa yang benar-benar layak untuk mendapatkan nilai bagus,  apa perasaan mereka jika aku menaikkan nilai anak ini setara dengan nilai mereka.  Di atas semua itu bagaimana dengan integritasku sebagai seorang dosen yang mengajar mata kuliah Pendidikan Budaya Anti Korupsi, mengapa aku merasa tidak berdaya saat anak ini mencoba menawar harga diriku dengan alasan yang menghibakan hati. Lama aku terdiam, di dalam hati aku berharap anak ini tidak sampai mengetahui keraguan di dalam hatiku. Tidak, jangan sampai terjadi pikirku.

Aku bertekad untuk memutuskan masalah ini sekarang juga, jangan sampai memberi harapan kepadanya. Tapi apa yang terbaik yang harus aku katakan,  aku dilanda perasaan resah ini pertama kalinya sejak menjadi dosen aku merasa berat untuk menolak permintaan anak didikku. 

Akhirnya dengan berat dan perlahan aku berkata kepada anak didikku, 
“Menjadi PNS itu bukan satu-satunya cara untuk bisa hidup layak dan menghasilkan uang Nak,  masih banyak lapangan pekerjaan lain yg bisa kamu dapatkan tanpa orang tuamu harus kehilangan sawah satu-satunya. Saya tidak bisa membantu kamu mewujudkan harapan orang tuamu menjadikanmu pegawai dengan cara seperti yang kamu sebutkan tadi., tapi jika kamu jujur dan bersungguh-bersungguh saya yakin Allah telah menyediakan ladang pekerjaan yang baik dan halal buatmu” aku menarik napas lega menyelesaikan kaljmat-kalimatku.
“Apa yang harus saya katakan kepada orang tua saya Bu,  saya tidak bisa ikut  tes pns setelah lulus nanti karena nilai saya tidak mencukupi? “ anak itu masih bersikeras membujukku dengan wajah memelasnya.
“Tunjukkan ke orang tuamu kalau kamu bisa mencari pekerjaan dan menghasilkan uang sendiri tanpa harus menyusahkan orang tuamu, saya tau kamu anak yang baik dan kamu pasti bisa “ aku meyakinkan
Anak itu terdiam sesaat lalu berkata “Iya Bu, terima kasih Ibu sudah meluangkan waktu untuk menerima saya,  saya permisi dulu Bu”  katanya
“Sama - sama, tetap semangat dan rajin belajar ya” aku sekali lagi menyemangatinya, menutupi perasaan tidak tega di dalam hatiku karena tidak bisa memenuhi permintaannya.
Kejadian itu sudah berlalu seminggu yang lalu ketika aku tanpa sengaja menangkap bayangan anak itu sedang menghadap seorang dosen,. Persis menggunakan baju yang sama dipakainya saat menghadapku.  Hari ini memang sebenarnya aku tidak ada jadwal mengajar di universitas ini,  tapi karena ada keperluan dengan bagian administrasi jadi aku menyempatkan diri mampir. Aku berdiri di balik lemari di ruangan dosen tak jauh dari meja temanku dan mahasiswa itu 
“Kamu... tugas.... bawa kesini... “ aku berusaha menangkap percakapan mereka tapi tidak bisa menangkap dengan jelas.  Hanya suara temanku yang terdengar.  
Waktu itu ruangan dosen sedang sepi mungkin yang lain sedang sibuk mengajar,  tiba-tiba ” eh Ibu... Ada kelas hari ini Bu? “seorang teman dosen yang lain mengejutkanku,  suaranya cukup keras sehingga mahasiswa yang sedang menghadap temanku juga ikut melihat ke arah kami.  
“ Nggak.. ini ada perlu sama bagian administrasi” kataku sambil melangkah menuju mejaku di pojok ruangan.  Sekilas kulirik mahasiswa dan temanku itu, tampaknya mereka telah menyelesaikan diskusinya ketika menyadari aku berada di ruangan itu,  kemudian mahasiswa itu pamit dan ketika melewatiku dia mengangguk ke arahku dan berkata “Permisi bu”.. Aku hanya tersenyum ke arahnya.

Mahasiswa ada-ada saja, minta dinaikkan nilainya katanya biar memenuhi syarat ikut pns”  kata temanku sambil tertawa.
Trus gimana, apa kamu ganti nilainya?” tanyaku pura-pura tidak tahu masalahnya.
“Yah ga papa lah hitung-hitung membantu orang lain, saya suruh dia membeli buku buat saya, lumayan soalnya harganya mahal saya liat di toko buku kemarin” kata temanku enteng.
Kemudian tiba-tiba telepon genggamnya berbunyi “ya...ya... sudah masuk pulsanya, jangan lupa besok paling lambat bukunya sudah saya terima ya, saya tunggu”  matanya mengedip dan tersenyum ke arahku.

Aku hanya diam-diam menelan ludah, apa tadi dia bilang? hanya membantu saja? Sudahlah pikirku,  mungkin aku belum mampu memberi kontribusi untuk pemahaman masalah perilaku koruptif di lingkungan sekitarku. Setidaknya aku telah memulai dari diriku sendiri, mulai hari ini tak akan kubiarkan siapapun menawar harga diriku.
“Mari pak.. Saya duluan.. “ aku berpamitan kepada temanku
“Silakan bu... “  katanya sambil matanya tak lepas dari layar laptop nya..


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Love Story (Erich Segal)

Resensi Buku : Three Cups of Tea

Dimanakah Hari Tuaku Berada?