Sangatta, Bontang hingga Kota Tepian Samarinda

Mengunjungi Pulau Kalimantan sudah menjadi impianku sejak lama, ada beberapa orang sahabatku yang tinggal di pulau itu. Berhubung sudah kangen dengan sahabat masa SMP ku dulu ( Sahabat dari masa ke masa) akhirnya kuputuskan untuk mengunjungi Kalimantan Timur.
 Malam sudah sangat larut saat aku memasuki Bandara Sultan Aji Muhammad Sepinggan yang sepi, aku langsung menuju tempat pemesanan taxi dan menyebutkan nama hotel tempat aku akan menginap .“Tujuh puluh ribu” kata petugas di counter taxi ramah tapi tetap saja membuat aku kaget karena yang aku tahu dari hasil browsing di internet jaraknya hanya sekitar 15 menit dari bandara. Welcome to Balikpapan pikirku, kota yang katanya termasuk kota paling nyaman tapi juga paling mahal.
Rasa lelah langsung hilang saat melihat kamar dan kasur hotel yang nyaman, setelah membersihkan diri aku tertidur sampai suara azan shubuh membangunkanku. Paginya menu sarapan hotel adalah nasi kuning lengkap dengan lauk pauknya, kebetulan memang aku ingin sekali merasakan nasi kuning khas Kalimantan ini. Rasanya enak dan porsi yang diambilkan pelayan cukup besar, di hotel ini kita tidak boleh mengambil makanan sendiri tapi pelayan yang mengambilkan dan menyajikannya.

Kira-kira pukul setengah sebelas travel yang akan membawaku menuju Sangatta akhirnya datang menjemput, terlambat lebih 2 jam dari waktu yang dijanjikan. Sambil menunggu aku bahkan sempat menyelesaikan menonton film The Firm dari saluran HBO di kamar hotel. Maklum penggemar berat novel-novel John Grisham dan ini adalah salah satu judul film yang diadaptasi dari novelnya, jadi walaupun travel datang terlambat aku  ikhlas saja. Menunggu di kamar hotel yang nyaman dengan perut kenyang dan menonton film kuanggap sebagai bonus dari perjalananku kali ini.  Bonus lainnya lebih mengejutkan lagi karena ternyata penumpang travelnya hanya aku sendiri, serasa naik mobil pribadi.

Pemandangan dari Balikpapan adalah pepohonan yang hijau, batang – batang pohon menjulang dengan jenjangnya, sungguh indah. Saat aku sedang terpesona memandangi barisan pepohonan di pinggir jalan, tiba-tiba saja aku merasa  mendengar mereka bersenandung sedih, seolah mereka hidup dan aku bisa merasakan betapa sakitnya pohon-pohon itu jika ditebang. Aku terkejut dan memandangi barisan pepohonan dari kaca jendela mobil, berusaha agar bisa menangkap suara lirih itu lebih jelas. Tapi kemudian pepohonan itu hilang digantikan tanah berwarna kuning yang terbuka, beberapa alat berat tampak sibuk membuka lahan. Hanya sekejap saja momen langka itu terjadi. Sebetulnya aku sering merasa aneh, kalau aku sedang terlalu meresapi perjalanan seolah aku bisa mendengar sungai atau pepohonan sedang berbisik atau bernyanyi. Mungkin hanya khayalanku saja, tapi tak urung aku memikirkannya juga sampai lama. Dulu waktu aku berkunjung ke Banda Aceh sewaktu melintasi sungai Krueng Aceh yang bersih dan tenang aku sempat terpaku beberapa detik karena seolah aku mendengar sungai itu bersenandung sedih. Beberapa hari aku terus memikirkan perasaaku itu, tapi kemudian aku menganggap itu hanya khayalan tingkat tinggiku saja.

Setelah melewati Bukit Suharto mobil kemudian berhenti di Tanah Merah Samarinda untuk istirahat dan makan. Restorannya sederhana tapi pemandangannya luar biasa. Tempatnya di atas bukit dan kita bisa bebas melihat lukisan alam berupa lembah yang hijau yang di tengahnya ada sebuah pondok yang dikelilingi hamparan padi yang menguning. Subhanallah indahnya ditambah lagi hembusan angin semilir yang sejuk. Pengunjung saat itu tidak terlalu ramai jadi aku tidak malu memotret dan sesekali selfie dengan pemandangan yang indah itu.

                             Pemandangan indah dari rumah makan di Tanah Merah Samarinda
Selepas dari Tanah Merah pemandangan kemudian menjadi membosankan, yang terlihat hanya barisan pepohonan yang jarang. Aku mulai terserang kantuk, terus terang saja dari tadi aku bersemangat dan tetap terjaga sepanjang perjalanan karena aku sedikit berharap  bisa melihat ada orang dayak dengan telinga panjang sedang beraktifitas di depan rumahnya atau bisa melihat orang utan sedang bergelayutan di pepohonan. Akhirnya aku tertidur pulas.


Tiba di Sangatta menjelang magrib dan akhirnya sampai juga di depan rumah sahabatku. Aku sangat terkesan dengan rumahnya karena terbuat dari kayu dan bertiang rendah, kelihatan sederhana tapi terkesan nyaman sekali. Berdua sahabatku kami melepas rindu sebentar dan bercengkrama dengan anak laki-lakinya, aku sangat menyukai sedikit dialek melayu yang kadang terselip dari kalimat yang diucapkan anaknya “Tante, aku mau masuk ke kamarku bisa keluar sebentar kah?” “ Tante, mau jalan-jalan ke Bontang kah?” “Tante nanti nginap disininya lama kah?” 

Malamnya kami menikmati pemandangan kota berdua saja, Sangatta adalah kota kecil tapi dengan fasilitas seperti kota besar. Ada town hall yang dilengkapi pusat perbelanjaan, komplek sekolah dan fasilitas olahraga. Suami temanku bekerja di perusahaan batu bara Kaltim Prima Coal (KPC) , jadi komplek perumahannya berada di daerah yang nyaman dan tenang. Karena hari sudah cukup malam setelah makan malam di sebuah restoran kecil kami pulang. Kami  tidur larut karena asik bercerita hingga tak hirau akan waktu. Aku yang memang sudah lama merencanakan “pelarian kecil”  ini memang ingin berbagi energy negative yang sudah lama menumpuk.

Esok hari setelah bersusah payah bangun karena kecapean dan tidur larut akhirnya berhasil juga bangun pagi dan siap-siap menjelajah Sangatta lagi. Perjalanan dimulai dengan makan nasi pecel dulu untuk sarapan pagi, antriannya cukup panjang tapi memang layak ditunggu karena enak. Perut kenyang jelajah Sangatta dimulai dengan melihat-lihat komplek pertambangan  Batu Bara Kaltim Prima Coal (KPC), tidak semua orang bisa melihat langsung area ini karena di depan kawasan dijaga oleh petugas yang akan menanyakan  identitas atau Kartu Pass yang hanya dimilki oleh karyawan yang bekerja di perusahaan itu. Kami melintasi hutan reklamasi yang dibuat oleh perusahaan KPC, kata temanku kadang-kadang kalau beruntung ada orang utan yang melintas, bahkan  dia pernah melihat kijang tapi sayang lagi-lagi aku belum beruntung. 

Kami melihat-lihat conveyor yang mengangkut batu bara ke kapal. Lanjut ke Bandara Tanjung Bara yang waktu itu sepi karena tidak ada penerbangan, foto-foto sebentar terus lanjut lagi ke Pantai Aquatic Tanjung Bara. Sayang langit tertutup kabut asap jadi tidak bisa melihat kapal-kapal besar yang tertambat agak di tengah lautan. Karena sudah lama tidak turun hujan laut agak surut sehingga bagian yang biasanya tertutup air laut bisa kelihatan, sayangnya ada larangan berjalan di pinggir pantai karena ada buaya yang mungkin menyerang, Sangatta memang terkenal dengan buaya-buayanya, malah katanya dulu banyak orang yang mati dimakan buaya.
Conveyor yang membawa hasil batu bara dari Sangatta ke kapal-kapal yang sudah menunggu
 Airpot Tanjung Bara Sangatta


Salah satu sudut pemandangan Pantai Aquatic Tanjung Bara Sangatta

Puas foto-foto kami meninggalkan daerah tambang menuju Masjid Raya Sangatta. Sesuai harapanku jika mengunjungi suatu daerah baru aku selalu ingin berfoto di depan masjid raya, karena biasanya setiap daerah mempunyai masjid raya yang bagus dan masjid raya Sangatta benar-benar indah.

Menjelang ashar kami pulang, dan siap-siap membersihkan diri karena malamnya akan makan seafood di Bontang Kuala yang jaraknya sekitar 1 jam dari Sangatta. Bersambung ke Negeri di atas laut Bontang Kuala

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Love Story (Erich Segal)

Resensi Buku : Three Cups of Tea

Dimanakah Hari Tuaku Berada?