Suatu sore di tepian Sungai Mahakam Samarinda

Setelah sholat shubuh aku sudah membereskan barang-barang karena jam delapan travel akan menjemput. Sarapan pagi ini di rumah saja karena sahabatku membuatkan nasi goreng yang special. Dari kemarin sahabatku sudah menceritakan tentang kelezatan nasi goreng buatannya  dan ternyata nasi gorengnya memang benar-benar enak.

Akhirnya jam sepuluh lewat travel baru datang menjemput. Perpisahan selalu menjadi bagian yang kurang menyenangkan dari sebuah pertemuan. Walau tak banyak yang aku ceritakan tapi aku tahu sahabatku mengerti apa yang aku rasakan dan itu sudah sangat cukup buatku. Sungguh benar rejeki dari Allah bukan hanya berupa harta benda tapi seorang sahabat yang baik adalah juga rejeki dan itu kurasakan betul saat berjalan ke negeri yang asing dengan niat melarikan diri dari masalah yang semakin menjemukn. Didalam perjalanan kudoakan semoga kebahagiaan selalu melingkupi keluarga sahabatku.
Aku meninggalkan sahabatku yang satu untuk menemui sahabatku yang lain dikota tepian. Samarinda aku datang….

Kembali melewati rute yang sama Sangatta – Bontang - Samarinda dan kali ini persis ke enam kalinya, aku memutuskan tidur sepanjang perjalanan. Mungkin karena kelelahan aku benar-benar pulas tidak merasakan terlonjak-lonjak karena kondisi jalan yang buruk, terbangun ketika mobil sudah berhenti di tanah merah lagi untuk istirahat makan. Sayang kali ini restoran yang dipilih bukan yang kemarin, sebuah rumah makan kecil tanpa pemandangan alam sama sekali, aku makan tanpa semangat, lanjut sholat dan kembali kedalam mobil lebih cepat karena udara yang panas.

Menjelang sore sampailah aku di Kota Samarinda, menunggu sebentar akhirnya temanku datang menjemput dan kami langsung menuju rumahnya. Barulah aku menyadari ternyata aku sudah kehabisan baju bersih, maklum saja aku berangkat hanya membawa sebuah tas ransel ukuran sedang dan cuaca di Sangatta sangat panas sehingga aku lebih sering berganti pakaian, akhirnya aku memakai baju temanku dan tak lupa bilang nanti minta diantar membeli baju baru. 

Dengan sepeda motor kami berkeliling kota Samarinda, pertama menuju Pasar Citra Niaga untuk membeli oleh-oleh. Aku membeli beberapa perhiasan dari batu dan kayu gaharu untuk teman-teman di kantor. Batu akik ternyata tidak terlalu banyak di Kaltim dan harganya pun lebih mahal dari harga di Pasar Rawa Bening Jakarta jadi aku tidak jadi membeli batu, sebagai gantinya aku membeli beberapa helai sarung khas Samarinda. 

 Patung pesut, maskot Kota Samarinda
Kami melanjutkan perjalanan  menuju Sungai Mahakam. Pengunjung sangat ramai duduk-duduk di tepian sungai, beberapa laki-laki sedang memancing ikan, aku agak takjub juga melihat sungai yang begitu panjang dan lebar  seperti laut. Di kejauhan terlihat beberapa kapal yang cukup besar, kata temanku dulu ada pengapalan peti kemas tapi sekarang sudah tidak lagi dan hanya mengangkut batu bara saja Konon dulu banyak terlihat ikan pesut meloncat dengan indahnya di sungai Mahakam ini, tapi sekarang hanya ada patungnya saja yang menjadi mascot kota samarinda. Sayang sekali, andai manusia bisa menjaga kelestarian alam pasti hingga saat ini aku masih bisa menyaksikan tarian indah ikan-ikan pesut itu. 

Sungai Mahakam dengan airnya yang hitam
 Air sungai Nampak hitam, kata temanku laut sedang pasang jadi air laut masuk.. Teringat sebelum berangkat seorang teman berkelakar “Jangan minum air Sungai Mahakam mba, nanti ga mau pulang lagi dan jadi orang sana “ siapa pula yang mau minum air sungai yang hitam seperti itu pikirku, tapi tanpa minum air sungainya saja aku sudah berniat suatu hari nanti bisa kembali lagi dan bisa lebih lama tinggal untuk menikmati alam Kalimantan Timur .


Asap tidak begitu parah di Samarinda tidak seperti propinsi tetangga Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah tapi cukup menganggu pemandangan karena matahari tertutup kabut. Kulayangkan pandangan kearah hulu ada sebuah jembatan yang menghubungankan Kota Samarinda  dengan Samarinda Seberang, Jembatan Mahakam namanya. Alangkah perkasanya Sungai Mahakam ini, dulu dia menghanyutkan batang-batang kayu gelondongan dan sekarang kapal-kapal besar mengangkut batu bara melalui sungai ini. Aku sedikit melamun dan berharap bisa mendengarkan Sungai Mahakam bersenandung menceritakan kesedihannya padaku tapi tak ada yang kudengar,


Puas menyaksikan Sungai Mahakam dan berfoto kami kembali berkeliling, melintasi Kantor Gubernur, Islamic Center dan juga Masjid Agung yang megah. Dari internet kuketahui nama Samarinda berasal dari kata sama rendah yang kemudian berubah menjadi Samarinda. Konon dulu orang-orang Bugis Wajo dari kerajaan Gowa banyak yang hijrah  ke daerah Kesultanan Kutai, Kedatangan orang-orang Bugis Wajo dari Kerajaan Gowa itu diterima dengan baik oleh Sultan Kutai. Sultan yang dikenal bijaksana ini memang bermaksud memberikan tempat bagi masyarakat Bugis yang mencari suaka ke Kutai akibat peperangan di daerah asal mereka. Perkampungan tersebut oleh Sultan Kutai diberi nama Sama Rendah. Nama ini tentunya bukan asal sebut. Sama Rendah dimaksudkan agar semua penduduk, baik asli maupun pendatang, berderajat sama. Tidak ada perbedaan antara orang Bugis, Kutai, Banjar dan suku lainnya.(sumber : https://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_Kota_Samarinda). Alangkah indahnya nama Samarinda, kota yang merupakan warisan pemimpin yang bijaksana yang mengedepankan prinsip egaliter, kesamaan derajat. 

Akhirnya hari sudah cukup larut dan kami kembali ke rumah temanku karena besok aku harus berangkat sebelum shubuh ke Balikpapan untuk mengejar penerbangan pagi. Hanya semalam waktu yang kuhabiskan bersama temanku di Samarinda, esoknya dini hari aku diantar ke travel yang akan membawaku kembali ke Bandara  Sepinggan Balikpapan. Kami berpamitan dan berjanji jika ada kesempatan kami akan bertemu lagi nanti. Ada perasaan sedih dan puas, sedih melihat sahabatku pulang meninggalkanku tapi puas dengan perjalananku yang pertama kalinya ke Pulau Kalimantan ini. Aku benar-benar beruntung dikaruniai sahabat-sahabat yang walaupun terpisah oleh jarak yang jauh namun selalu perhatian dan mendoakanku.

Semua jejak yang aku buat beberapa hari dari Balikpapan, Sangatta, Bontang hingga Samarinda awalnya adalah sebuah pelarian kecilku dari kejenuhan dan kekecewaanku. Tapi setelah bertemu dengan sahabat-sahabatku yang tulus aku merasakan kembali kesyukuran yang sempat hilang dari hatiku. Perhatian mereka yang sederhana menyejukkan hatiku , ketika sebuah pesan singkat masuk ke handphoneku “sudah sampai dimana?” dan telpon yang mengkhawatirkanku karena terbang pada cuaca yang sangat buruk, saat itu aku bisa merasakan Allah telah mengembalikan rasa syukurku. Alhamdulillahi Rabbil 'Alamiin.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Love Story (Erich Segal)

Resensi Buku : Three Cups of Tea

Dimanakah Hari Tuaku Berada?