Aku Mau Sedekah

Bulan istimewa, bulan penuh berkah tiba. Hari-harinya paling utama. Malam-malamnya paling utama. Jam demi jamnya paling utama.  Pahala sunnahnya dinilai sebagai pahala wajib, bahkan 1 kebaikan dibalas 70 kebaikan. Sedekah adalah 1 kebaikan, 1 sedekah akan diganjar 70 kebaikan. Aduhhai...siapa tak ingin mendapatkan sedemikian banyak kebaikan hidup di dunia dan di akhirat.


Sore hari ini sudah kuputuskan akan bersedekah kepada fakir miskin. Dari tempat kos kuniatkan nanti di pasar selain membeli makanan untuk berbuka puasa aku juga akan memberi sedekah kepada bapak tua penjual tisu, sang pengamen buta atau siapa saja nanti pengemis yang kutemui di pasar. Belum lagi mengeluarkan sedekah aku sudah merasa senang dan melangkah ringan menenteng dompetku menuju pasar.

Yang pertama kutuju adalah bapak tua penjual tisu, dari jauh aku bisa melihat sosok ringkihnya berdiri diantara penjual makanan dan minuman. Pasti dia sedang menunggu bus lewat untuk menjajakan tisunya kepada penumpang bus. Aku menghampirinya dan memberikan senyumku yang paling manis 
“Pak beli tisu empat yaa…” kataku.
Bapak itu langsung menyerahkan semua tisu di tangan kanannya. Aku mencari-cari uang pecahan dua puluh ribu rupiah di dalam dompetku tapi yang ada hanya uang lembaran ratusan ribu. Aku langsung teringat uang pecahan kecil yang biasanya kusimpan di tas untuk memudahkanku mengeluarkan uang, sedangkan uang pecahan lima puluh ribu dan seratus ribu aku simpan di dompet. Tadi aku lupa memindahkan uang di tas ke dalam dompet dan melenggang ke pasar hanya membawa dompet kecil. 
“Ada kembaliannya tidak Pak?” tanyaku ragu-ragu mengeluarkan selembar uang berwarna merah itu.
"Ga ada Mba…” persis seperti dugaanku bapak itu tidak punya uang kembalian sebanyak itu.
"Yahh..gimana yaa..bisa tukar sama teman Bapak nggak?” tanyaku lagi.
Bapak itu meneriakkan sesuatu kepada penjual makanan tapi dijawab tidak ada, lalu bertanya kepada penjual minuman dan dijawab dengan gelengan kepala. Nampaknya tidak ada yang bersedia menukar selembar uang seratus ribu itu dengan pecahan yang lebih kecil.
“Bapak punya uang berapa Pak?” aku kembali bertanya, tak mengapalah kurang banyak kembaliannya kan sudah niat ingin bersedekah dari awal tadi. Berapapun uang yang dimiliki bapak itu sisanya akan kusedekahkan.
“Belum dapat uang hari ini Mba, baru ada lima ribu” katanya sambil mengeluarkan selembar uang lima ribuan lusuh dari kantong celananya.
Adduh…banyak juga ya kurangnya dan mendadak kepalaku jadi gatal. Sambil menggaruk-garuk kepala aku berpikir kalau misalkan aku memborong semua tisu bapak ini, buat apa ya tisu seplastik besar itu. Aku bingung jadinya dan nampaknya bapak itu mengerti kebingunganku.
“Ya sudah belanja aja dulu Mba nanti baru beli tisu” kata bapak itu akhirnya. Yah sudahlah pikirku nanti bisa belanja yang lain dulu dan pulangnya nanti mampir kesini lagi.
“Maaf ya Pak, nanti kalau sudah ada uang kecilnya insya allah kesini lagi yaa” kataku.

Dari penjual tisu sayup-sayup aku mendengar suara pengemis buta menyanyikan  lagu religi, suaranya terdengar sendu seperti ratapan orang yang sedang dilanda kemalangan. Aku meremas-remas uang seratus ribu yang sekarang sudah berpindah ke kantong bajuku, nanti aku akan menghampirinya kalau uangnya sudah bisa ditukar pikirku.

Aku tidak tahu ingin membeli apa karena dari rumah memang niatnya hanya ingin membeli makanan jadi aku menuju tukang sate , lumayan nanti bisa buat lauk makan sahur juga. Setelah memesan sate aku duduk memperhatikan penjualnya mengipas-ngipasi sate, temannya membungkusi sate-sate yang sudah matang. Tadinya kupikir sate itu punyaku ternyata kepunyaan bapak-bapak yang duduk di seberangku.
“Seratus dua puluh ribu” tukang sate menyebutkan harganya. Banyak juga belinya kataku dalam hati. Bapak itu kemudian membayar dengan uang pas. Tidak lama kemudian sate pesananku jadi.
“Tiga puluh ribu” kata penjualnya. Aku langsung mengeluarkan selembar uang seratus ribu dari dalam kantong baju, uang yang tadi tidak sempat kumasukkan kembali kedalam dompet.
“Uang pas saja Bu” katanya menolak uang yang kuberikan.
“Gak ada Bang, dari tadi juga ga bisa belanja karena ga ada kembaliannya” kataku.
Tukang sate tampak kebingungan, tapi akhirnya berkata “ Ya udah bawa aja uangnya Bu, gampang besok-besok kesini lagi aja”.
“Ahh gak mau Bang, masa saya jadi hutang?” aku mulai agak kesal karena hari ini nampaknya sulit sekali belanja dengan uang seratus ribu.
“Ga papa Bu, santai aja..saya tiap hari juga jualan di sini" katanya lagi sambil tertawa.
Yah kenapa malah jadi berhutang begini, tapi kan tidak mungkin juga aku mengembalikan sate yang sudah terlanjur dibakar ini.
“Ga bisa tukar sama orang Pak?" aku masih berusaha. 
Ga ada Bu, baru pada buka sore begini. Udah bawa aja Bu, gampang deh” kata penjual sate.
“Ya sudah kalau begitu Pak, saya bawa aja dulu satenya ya, besok sore insya allah saya kesini lagi” aku mengalah.
“Iya Bu, santai aja” kata penjual sate.

Aku memutuskan pulang saja karena hari sudah menjelang magrib. Besok kalau mau sedekah siapkan uangnya di dalam amplop, aku mengomeli diriku sendiri. Bergegas aku menyeberang jalan menuju ke komplek rumah kosku. Di tengah jalan aku berpapasan dengan tukang buah yang memanggul dagangannya, nah kebetulan pikirku semoga saja kali ini ada kembaliannya.
“Pak beli pisang sama jeruknya ya, tapi uang saya seratus ribu, ada kembaliannya kan Pak?" aku sudah siap-siap jika kali ini juga tidak ada uang kembaliannya lagi maka aku tidak jadi beli.
Insya allah ada Neng” kata penjual buah dengan tenangnya membuat aku jadi malu seolah-olah disindir karena tadi berbicara dengan suara agak keras.
“Dari tadi saya belanja ga ada kembaliannya terus Pak” aku menyesal tadi berkata dengan suara agak keras.
Penjual buah menyerahkan tiga kantong plastik, yang dua berisi pisang dan jeruk yang kubeli dan satunya lagi berisi buah kesemek. 
“Saya ga beli kesemek Pak” kataku
“Itu sedekah buat Eneng, buat buka puasa. Enak kesemeknya udah benar-benar matang, Manis Neng” kata penjual buah sambil menyerahkan uang kembalianku.
“Eh nggak usah Pak, nanti Bapak rugi” aku terkejut mendengarnya. 
“Nggak Neng,untungnya sudah cukup , yang itu sedekah. Ngasih aja.. buat Neng buka nanti”
“Ya udah saya bayar aja ya Pak” aku masih tidak terima, kenapa malah jadinya aku yang dapat sedekah.
“Yah nggak jadi sedekah atuh kalo dibayar mah Neng” Bapak penjual buah tertawa dan bersiap-siap memanggul lagi barang dagangannya yang tinggal sedikit.
“Adduh Bapak baik banget, terima kasih ya Pak. Semoga berkah dagangannya” kataku.
“Sama-sama Neng” kata bapak penjual buah sambil berlalu.

Aku cepat-cepat berjalan lagi kerumah kosku. Sampai di kamar kuletakkan begitu saja makanan dan buah-buahan yang kubeli. Kenapa jadi begini pikirku, padahal tadi aku berniat untuk memberikan sedekah kepada orang miskin tapi malah aku yang mendapatkan sedekah ditambah jadi berhutang pula tiga puluh ribu kepada penjual sate. Penjual sate itu juga baru pertama kali ini melihatku tapi sangat percaya besok aku akan kembali lagi dan membayar hutang.
Allahu Akbar..Allahu Akbar…adzan berkumandang.
Alhamdulillah saatnya untuk berbuka tiba. Sebelum berbuka aku berdoa untuk bapak penjual tisu dan pengemis buta agar malam ini bisa makan enak, agar penjual sate dan penjual buah tadi  mendapatkan untung yang besar. Tak lupa juga aku berdoa untuk diriku sendiri,
Ya Allah, besok ijinkan aku bersedekah. Aku juga ingin dapat 70 kebaikan seperti penjual buah dan sate tadi…”.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Love Story (Erich Segal)

Resensi Buku : Three Cups of Tea

Dimanakah Hari Tuaku Berada?