Mengeja Waktu


Menginjakkan kaki kembali di tempat yang dua puluh tahun lalu pernah sangat kuakrabi rasanya seperti diserang dejavu tiap hari. Setiap sudut yang kulewati seolah menjadi kutub magnet besar yang menarik kenangan dari ingatan terdalamku. Kelebatan kenangan yang semula samar kemudian menjelma menjadi film bisu, kadang karena terlalu riuhnya kenangan itu muncul membuat kakiku terasa berat melangkah. Kuhembuskan nafas kuat-kuat untuk mengurangi beban di kepalaku. Sambil menenangkan kepala yang mendadak begitu sibuk aku berjalan pelan-pelan mengamati sekelilingku yang tidak banyak berubah. 


Melewati gedung auditorium selarik kenangan muncul, disinilah dulu aku pertama kali memutuskan memakai jilbab. Ketika itu Bulan Ramadhan diadakan acara berbuka bersama mahasiswa, kami para mahasiswi diwajibkan menggunakan jilbab. Aku yang waktu itu masih belum berjilbab meminjam dari teman kosku sekaligus juga memintanya membantuku memakainya. Saat melihat bayanganku di cermin aku merasa senang sekali dan tidak ingin melepaskannya. Keputusanku kemudian menjadi bulat begitu saja, malam itu aku memutuskan untuk memakai jilbab seterusnya dan tidak akan pernah melepasnya lagi. Ternyata hal itu tidak hanya mengejutkan kedua orang tua dan saudara-saudaraku, teman-teman di kampus terbagi menjadi dua antara yang mendukung dan yang menyesalkan keputusanku. Berbagai rintangan yang datang terutama dari orang tua dan kakakku tidak menggoyahkan keputusanku sedikitpun. Sejak malam itu aku mantap menggunakan jilbab hingga hari ini.

Aku meneruskan langkah melewati gedung auditorium yang tidak banyak berubah itu, hanya warna catnya saja yang diperbarui sedangkan yang lainnya masih tetap sama seperti dulu. Pintunya tertutup jadi aku tidak bisa melihat ke dalam. Dari auditorium ada lorong pendek yang menuju ke ruang praktek, di sepanjang lorong dipasang bangku panjang yang dipakukan ke tiang-tiang bangunan gedung. Rupanya cukup baik material kayu bangku itu yang masih tetap kokoh dan baik hingga sekarang. Bangku panjang itu dulu tempat kami biasa bercanda dan berdiskusi. Aku tersenyum sendiri melewati lorong yang sedang sepi itu, dulu banyak hal yang bisa kami tertawakan bersama di bangku-bangku itu, bercanda lepas tanpa beban. Berbagi cerita-cerita sederhana dan sedikit saja membahas tugas kuliah, keriaan masa muda yang tak akan pernah kembali lagi. 

Tidak sampai di ujung lorong jika aku belok ke kiri maka aku akan sampai ke ruangan kantor administrasi dan ruangan dosen tapi aku memutuskan untuk kembali berbalik ke arah auditorium dan keluar, aku ingin melihat sebentar asrama tempat aku mondok selama tiga tahun. Asrama putri terletak dibelakang diapit oleh masjid dan asrama putra. Disepanjang jalan menuju asrama banyak rumah-rumah yang sebagian besar sudah dirobohkan, kabarnya rumah-rumah itu seharusnya sudah dipindahkan ke tempat lain karena akan dibangun perluasan kampus. Aku mencari-cari telpon umum yang terletak di jalan itu dulu tapi ternyata sudah tidak ada lagi. Beberapa pedagang yang berjualan masih bisa kukenali dan tetap berjualan di tempat yang sama. Sebagian orang dikaruniai kemampuan mengatasi kejenuhan dalam rutinitas dengan sangat baik pikirku, atau mungkin juga karena tidak tersedia ruang untuk mereka berubah.

Kemudian akhirnya beberapa tempat menyuguhkan pemandangan yang asing, lapangan tempat teman-temanku bermain basket sekarang sudah habis digantikan gedung tinggi yang megah, pohon besar nan rimbun yang sering kami sebut DPR (Di bawah Pohon Rindang) tempat kami berteduh juga sudah tidak ada lagi. Asrama putri tiga lantai tempat aku mondok dulu juga sebagian sudah berubah fungsi, lantai dasar yang kami sebut hall tempat kami berkumpul menonton televisi dan menerima tamu di sore hari sekarang sudah menjadi kamar-kamar yang disewakan untuk umum. Asrama putra sudah tidak ada lagi sekarang gedungnya dijadikan ruang kuliah, sedangkan masjid tempat kami beraktifitas dan berjamaah menunaikan sholat dipindahkan ke sebelahnya dan sudah dibangun kembali menjadi lebih luas. Ditanah bekas masjid itu sekarang berdiri rumah pejabat. Aku tidak terlalu kecewa melihat perubahan-perubahan itu kuanggap semua itu kejadian alamiah biasa, sudah saatnya benda-benda atau bangunan kuno digantikan dengan yang lebih modern. Pemandangan baru itu tidak menarik hatiku jadi kuputuskan kembali ke kantorku. 

Tapi tak dinyana ada perubahan yang membuatku seolah tersadar dua puluh tahun yang kulewatkan telah meninggalkan jejak dengan jelas di tempat ini. 

Dua puluh tahun lalu saat aku meninggalkan kampus, dosen dan pengelola semuanya masih muda dan gagah, kenanganku terhenti pada sosok muda mereka. Namun saat berjumpa lagi dengan mereka semuanya sudah berubah. Alangkah jelasnya jejak waktu meninggalkan mereka, Wajah-wajah yang sangat kukenal itu sekarang dihiasi kerut-kerut dan rambut yang mulai memutih. Tak ada lagi sosok muda seperti yang selama ini terpatri dalam ingatanku. Walau tak bisa kupungkiri perubahan itu memang menambah kewibawaan pada sosok mereka hanya saja itu membuat ingatanku tentang sosok muda mereka menguap seketika.

“Bapak itu sudah pensiun, ibu itu sebentar lagi akan pensiun..” seorang teman menjelaskan padaku. Aku mencari-cari wajah yang tidak kelihatan dan terkejut menyadari ternyata waktu telah begitu lama berlalu sejak aku meninggalkan tempat ini. Terbata-bata menyesuaikan diri aku pelan-pelan mengeja waktu yang berlalu. Kenangan yang terserak di tempat ini tidak pernah hilang hanya saja begitu aku kembali waktu telah banyak mengubahnya. Aku menyeseuaikan diri lagi, merapikan kenangan-kenangan yang berserakan dan merangkainya kembali menjadi harapan baru setiap hari.  

Kelak waktu juga akan berlalu meninggalkanku dan suatu hari nanti akan ada yang kembali lagi dan mengeja waktu di tempat ini. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Love Story (Erich Segal)

Resensi Buku : Three Cups of Tea

Dimanakah Hari Tuaku Berada?