Rumah Kenangan

Aku memiliki masa kecil yang sangat indah, dibesarkan di sebuah kota kecil di Pulau Sumatera yang tenang, dikelilingi saudara-saudara yang mencintai dan tetangga-tetangga yang sangat menghormati keluarga kami. Kenang-kenangan indah   itu semuanya berawal dari sebuah rumah tempat aku dibesarkan, rumah kenangan.
Rumah tempat tinggal kami berdiri disitu sejak aku masih sangat kecil dan dulunya merupakan rumah yang cukup bagus dibandingkan rumah-rumah disekitarnya. Halaman depannya yang sempit tapi penuh dengan bunga beraneka warna menjadikan rumah kami  terlihat sangat asri. Aku bersyukur tidak hanya dibesarkan di lingkungan yang nyaman tetapi juga karena orang tuaku melengkapi fasilitas yang ada di rumah itu, walau tidak terlalu mewah tetapi cukup menyenangkan bagi orang-orang yang tinggal di dalamnya. Waktu aku masih kecil di lingkungan tempat tinggalku ini  hanya ada satu keluarga yang memiliki televisi, itulah keluarga kami. Aku masih mengingat rumah kami akan ramai sekali jika musim pertandingan bulu tangkis tiba, saking ramainya kadang televisi hitam putih itu akan dipindahkan dari ruang tengah ke ruang tamu. Menurut mamaku, dulu tidak hanya tetangga sekitar yang suka menonton di rumahku tapi juga orang-orang dari tempat yang jauh.

Rumah tempat kami tinggal cukup besar, ada tiga  pintu masuk dari depan rumah, dua dari teras kiri dan kanan dan satu lagi adalah pintu masuk utama yang terhubung langsung dengan ruang tamu. Para tetangga atau sanak saudara lebih senang masuk dari pintu samping teras karena akan terhubung dengan ruang keluarga dan dapur tempat kami sering mengobrol, tetapi tamu tentu saja lebih memilih pintu utama yang lebih formal.

Ada tiga ruangan besar di rumah tempat kami sekeluarga biasa berkumpul. Sebuah ruangan paling besar terletak di belakang adalah ruangan yang paling lapang karena tidak ada kursi, hanya ada karpet dan bantal-bantal ditebar di lantai serta  sebuah televisi dan buffet di sudut ruangan. Di ruangan ini kami menghabiskan waktu dengan bermain catur bergiliran, main monopoli, main ular tangga, mendengarkan cerita Mama dan Bapak atau lebih sering hanya mengobrol saja. Cerita favoritku dan juga saudara-saudaraku yang lain adalah tentang kehebatan leluhur kami yang katanya bisa mengalahkan harimau jadi-jadian dengan tangan kosong. Cerita itu sering diulang-ulang baik oleh Mama, Bapak atau bahkan oleh nenek ketika beliau sedang bekunjung ke rumah kami, tapi kami tidak pernah bosan mendengarkannya. Kalau ceritanya lucu kami akan tertawa dengan suara keras dan panjang dan tak jarang kadang tetangga akan berteriak dari sebelah rumah menanyakan kami sedang mendengarkan cerita apa. Beberapa kisah yang diceritakan itu mungkin sebagian besarnya adalah berupa karangan orang tua dan nenek kami tetapi entah mengapa bahkan hingga seusia sekarangpun kami masih mempercayai cerita itu benar adanya.
Aku ingat sebuah  cerita yang sering diulang-ulang nenekku, tentang nenek moyangku yang menemukan peri kecil (setelah agak dewasa aku baru tahu mungkin wujudnya seperti thinker bell dalam film Peter Pan). Peri itu konon dibawa pulang kerumah nenek moyangku dan ditempatkan dalam sebuah guci. Singkat cerita, peri kecil itu sedih dan tidak mau makan, dia hanya mau makan sedikit telur semut. Akhirnya peri kecil tersebut kemudian dilepaskan dengan satu syarat nenek moyangku memohon agar keturunannya diberikan kebaikan dalam parasnya sehingga siapapun yang memandang akan merasa senang melihatnya. Lucunya cerita ini kami yakini benar adanya, tidak hanya oleh aku dan saudara-saudaraku tapi juga sepupu-sepupuku yang ikut mendengarkan dongeng ini berulang-ulang.

Dua ruangan keluarga lainnya bersebelahan di belakang ruang tamu, sedikit lebih kecil dibandingkan ruang televisi, satu ruangan dilengkapi seperangkat kursi, aquarium kecil dan rak buku, ruangan yang satunya lagi diisi buffet tempat buku-buku koleksi Bapak, kursi dan meja untuk menerima telpon dan juga rak buku-buku sekolah milik kami anak-anaknya. Aku biasanya menggunakan ruangan ini untuk tempat belajar dan membaca buku cerita.

Bagian paling belakang rumah adalah dapur tempat mama biasa memasak dan juga tempat  kami berkumpul  di meja makan. Dulu dari dapur ini setiap hari selalu tercium wangi  aroma masakan, wangi yang dihasilkan dari tangan tulus seorang ibu dan rejeki hasil tetes keringat seorang ayah yang bijaksana dan lurus pemikirannya.
Ruangan dapur  cukup besar dan letaknya agak ke bawah karena kontur tanah yang   miring. Akibat kondisi tanah yang miring tersebut  untuk menuju dapur ada sebuah tangga pendek. Tangga ini dulu menjadi tempat favorit kami, sambil menunggu mama masak aku dan adikku senang mengobrol dan bercanda dengan mama di tangga itu.
"Ma, kalau nanti aku sudah menikah aku boleh kan datang kesini setiap pagi dan minta kopi?" kata abangku yang  sebentar lagi akan segera menikah.
"Yah...masa masih harus mama yang sediakan. Minta sama istrinya dong, malu laah.." kata mamaku. Aku tau dia hanya bercanda, pasti nanti dia juga akan merindukan rengekan abangku meminta dibuatkan kopi setiap pagi.
"Ma, nanti kalau aku sudah kerja dan punya gaji besar mama mau minta dibelikan apa?'Adik bungsuku yang waktu itu belum lulus kuliah bertanya ke mama.
"Nggak usah, uangnya ditabung aja. Kan mama punya uang sendiri dari pensiun Bapak" begitulah mama selalu tak ingin merepotkan anak-anaknya.
"Mama...aku boleh pacaran nggak?' kali ini akulah yang sering mengganggunya dengan pertanyaan-pertanyaan konyolku waktu aku masih di bangku sekolah. Mama biasanya akan pura-pura tidak mendengar pertanyaanku, lalu aku akan mengganggunya dengan pertanyaan konyol lainnya sampai mama selesai memasak, begitulah mama dengan sabar selalu membesarkan hati kami anak-anaknya.

Sekarang bahkan keponakan-keponakan juga suka sekali berjejer duduk di tangga pendek itu, kami menyebutnya spot favorit. Tangganya hanya pendek saja tak lebih dari lima undakan yang cukup lebar sehingga kita tidak hanya bisa duduk-duduk tapi juga bisa tiduran di undakan tangga tersebut. Jika lebaran tiba sanak saudaraku lebih suka berkumpul di dapur dan tangga ini dibandingkan di ruang tamu. Mungkin karena dapur ini cukup besar dan di belakangnya ada tanah luas yang ditumbuhi pohon-pohon besar sehingga udara terasa sejuk dan segar.

Teras sebelah kanan juga merupakan tempat favorit kami mengobrol, dulu Bapak sering berlama-lama duduk di teras karena udara yang sejuk dari pohon-pohon dan bunga-bunga yang ditanam mama. Sedangkan di teras sebelah kiri terdapat kolam ikan kecil dan juga bunga-bunga yang tumbuh subur, kami juga senang berlama-lama menghabiskan waktu di teras hanya untuk mengobrol dan bercanda. Di teras itulah aku mengutarakan cita-citaku kepada Bapak kelak kalau besar aku ingin jadi dokter atau pengacara dan Bapakku sama seperti mama akan selalu mendukung semua yang anak-anaknya cita-citakan.
"Pak, aku nanti mau jadi pengacara aja ga jadi dokter" kataku kepada Bapak setelah sebelumnya beberapa kali menonton serial Ally Mc Beal di televisi.
"Iyaaa.." kata Bapakku .
"Ah, tapi malu ah Pak harus ngomong di depan orang banyak. Di depan penjahat juga, ga jadi ah" kataku lagi.
"Jadi mau jadi apa?" kata Bapakku lagi.
"Jadi apa ajalah Pak, terserah Bapak sama Mama aja" kataku.
"Kalau jadi dosen gimana?" tanya Bapak.
"Hmmm...oke Pak kalau begitu jadi dosen aja. Tapi dosen fakultas hukum".
"Iyaaa.." kata Bapakku .

Ruang tamu mungkin satu-satunya tempat yang jarang kami jadikan tempat berkumpul sehingga fungsinya benar-benar hanya untuk menerima tamu. Karena itulah menurut mamaku seperangkat kursi di ruang tamu itu umurnya lebih tahan lama dari ruangan lain karena jarang diduduki. Tapi dulu aku sering menggunakan ruang tamu ini untuk membaca, karena kursinya lebih empuk dan sofanya juga lebih besar jadi aku betah berjam-jam membaca sambil tidur-tiduran.

Di rumah kenangan itu aku dan saudara-saudaraku dibesarkan oleh kedua orang tua hebat yang usianya tidaklah panjang. Kami jarang sekali menghabiskan waktu di luar, kebiasaan itu terbawa saat aku dewasa hingga sekarang aku tak pernah betah berlama-lama keluar rumah, selalu saja perasaan ingin cepat pulang kerumah memanggilku. Orang tua kami dulu tidak memiliki alasan mengapa mereka senang sekali mengobrol berlama-lama di dalam rumah dengan anak-anaknya, mungkin itu hanya semacam hiburan bagi mereka. Mereka sangat suka mendengarkan anak-anaknya bercerita dan tanpa mereka sadari mereka telah  menciptakan suasana komunikasi yang paling nyaman untuk kami. Kami tidak pernah merahasiakan apapun dari mereka karena kami tahu mereka akan selalu siap mendengarkan.

Sekarang walaupun kami sudah tidak tinggal bersama lagi aku selalu menyempatkan pulang dan memandang rumah kenangan itu. Aroma kenangan dan rindu selalu saja  membuatku menggigil. Terlalu banyak kenangan yang direkam dinding-dinding rumah itu, kasih sayang, ketabahan, kekuatan, bahkan juga cerita  cinta pertama yang usai.
Setiap ruangan adalah saksi tempat kami membicarakan cita-cita dengan kedua orang tua kami, setiap ruangan juga memiliki kenangan tentang kekuatan kami bersama-sama menyelesaikan semua masalah. Rumah kenangan itulah yang membentuk pribadi-pribadi kami,  yang mengantarkan anak-anaknya bersekolah tinggi hingga mampu mencapai semua cita-cita. Cita-cita yang dulu kami obrolkan di dapur, di ruang keluarga dan di teras rumah. Tiap sudut rumah kenangan tercatat segala suka duka  dan bahagia. Rumah kenangan yang menyediakan banyak ruang untuk berinteraksi, berbicara, bercerita dan berbagi kesusahan satu sama lain.

Rumah kenangan itu dulu dipenuhi derai gelak tawa seru dan juga air mata pedih yang tak akan pernah terlupakan. Kenangan itu terlalu kuat dan rasanya mustahil untuk dapat dilupakan dan diabaikan. Maka biarlah akan tetap kurawat semua kenangan itu, walau kadang tiap kali aku harus berusaha keras untuk  menyingkirkan kepingan rindu yang  yang berserakan dan seringkali pecahannya demikian tajam  lalu  melukai hatiku lagi dan lagi

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Love Story (Erich Segal)

Resensi Buku : Three Cups of Tea

Dimanakah Hari Tuaku Berada?