Keep calm, enjoy bubur ayam

Di depan kantorku ada seorang penjual bubur ayam yang selalu ramai diserbu pembeli. Tidak hanya karyawan tetapi juga mahasiswa antri mengelilingi gerobaknya setiap pagi. Selain harganya yang terjangkau juga rasanya yang lumayan enak karena itu dalam beberapa jam saja biasanya bubur tersebut sudah habis.


Aku termasuk yang menyukai sarapan pagi dengan bubur ayam, satu porsi cukup untuk mengganjal perut hingga jam makan siang. Walaupun tidak setiap pagi aku juga sering ikut mengantri diantara para pembeli. Biasanya pembeli berebutan ingin lebih dilayani lebih dulu tapi penjual bubur selalu tahu siapa yang mengantri lebih awal. Keinginan pembeli juga macam-macam ragamnya,kadang absurd, aneh dan cerewet sekali.
“Bang saya ga pake bawang goreng” 
“Ga pake seledri”
“Jangan dikasih sambel, Bang”
“Sambelnya yang banyak Mas”
“Kerupuknya yang banyaak Kang”
“Ga pake kerupuk Dik”
“Ga pake kacang Om”
“Setengah porsi aja ya Bang tapi ayamnya yang banyak”
“Jangan pake ayam ya Bang”
“Dibungkus ya Bang tapi kerupuknya dipisah”
“Sambelnya dipisah, ayamnya di atas kerupuknya trus kuahnya disiram di atasnya”

Begitulah kejadian berulang setiap pagi penjual bubur melayani permintaan pembelinya , namun tak pernah sekalipun permintaan itu tidak dipenuhi. Mungkin penjual bubur menganggap pembeli sebagai raja jadi apapun permintaan pembelinya akan dituruti. Aku sendiri lebih suka menyesuaikan dengan keadaan, jika pembeli sedang terlalu ramai aku memilih bubur ayam standar sesuai yang dijual, nanti saat makan aku akan menyingkirkan potongan-potongan daging ayam yang tidak kusukai. Tapi jika pembeli tidak terlalu ramai aku meminta seporsi bubur ayam tanpa taburan daging ayam. Perihal bubur ayam tanpa daging ayam ini juga sering dikomentari teman-temanku,
"Bubur ayam koq ga pake ayam jadinya bubur apa dong?" temanku menertawakan seleraku yang menurutnya aneh.
“Yah bubur ayam tanpa ayam laah” aneh pikirku, begitu saja kok sulit dimengerti.

Semangkuk beras yang dimasak terlalu lama itu kemudian dinikmati orang sesuai selera lidah masing-masing. Yang disukai seorang tidak disukai seorang yang lain, yang aneh menurut satu orang menjadi sangat sedap menurut satu orang yang lain. Ada yang marah jika permintaannya lupa dituruti oleh penjual bubur, ada juga yang tidak ingin repot lalu menerima saja bubur yang disajikan penjual kemudian tinggal meninggalkan bagian yang tidak ingin dimakannya tetapi selalu ada juga yang dengan suka cita menghabiskan apa saja yang dicampurkan penjual ke dalam bubur ayamnya.

Masalah menikmati semangkuk bubur ayam ini saja bisa jadi sedemikian rumit, apalagi masalah memilih capres dan cawapres. Tidak jarang perbedaan pilihan soal ini berujung pada perdebatan sengit dan pertengkaran. Di grup whatsapp alumni yang kuikuti juga sudah terasa suasana panas dan saling sindir lewat postingan-postingan berita yang dibagikan. Si A membagikan tulisan tentang anggota dewan yang rajin sekali mengomentari semua gerak-gerik dan tindakan Capres B. Semua kebijakan dan perbuatan capres B selalu salah dimatanya, persis seorang kekasih yang sudah tak cinta lagi dengan pasangannya.  Si B yang mendukung capres B tidak terima dengn tulisan tersebut lalu  membalas dengan membagikan tulisan lain yang isinya memuja-muji kebijakan dan prestasi capres B. Sekejap saja kemudian notifikasi di handphoneku sudah mencapai ratusan jumlahnya. Kalau sudah begitu aku buru-buru meng-clear chat tanpa perlu repot-repot membaca percakapan tersebut. Biasanya perdebatan baru berhenti jika ada salah seorang anggota grup yang protes karena suara handphonenya mulai mengganggu. 

Teman-teman yang tadinya akrab bercanda di grup menjadi lebih sensitif, apa saja bisa dikaitkan ke soal capres mencapres tersebut. Tidak hanya di grup WA, di kantor pun juga sama saja kondisinya. Seringkali ada teman yang sengaja melontarkan ejekan kepada satu capres kemudian disahuti oleh teman yang lain. Perdebatan kemudian merambat kemana-mana, tadinya hanya saling menjatuhkan jagoan masing-masing kemudian mulai bergeser ke masalah keimanan. Yang satu merasa lebih baik imannya karena memilih capres A, sedangkan yang memilih capres B merasa dirinya lebih nasionalis dari yang lain.

Tidak hanya di dunia nyata di dunia maya bahkan lebih riuh lagi. Dulu waktu aku masih sering mengecek akun facebook setiap hari aku membaca status yang memaki pendukung salah satu capres. Tulisan penuh makian itu berasal dari orang-orang yang dulunya kukenal santun tapi sekarang sanggup menulis kalimat yang kasar seperti itu. Panggil-memanggil dengan sebutan nama binatang, menghina kekurangan fisik orang lain nampaknya menjadi hal biasa mereka tuliskan dan sebarkan. Semakin lama rasanya semakin tidak menyenangkan membaca kalimat-kalimat makian itu, akhirnya aku memutuskan berhenti menggunakan facebook dan menghapus akunku selama-lamanya. 

Seperti halnya cara menikmati semangkuk bubur tadi, tidak ada orang yang suka dipaksakan menikmati bubur yang tidak sesuai dengan keinginannya. Bawang goreng yang biasanya untuk menambah wangi masakan pastilah baunya sangat mengganggu bagi orang yang tidak menyukai bawang. Itu semua soal selera, soal pilihan. Kalau kita bisa jujur dan bertoleransi dengan perbedaan indra pengecap kita seharusnya kita juga bisa menerima perbedaan pemikiran kita akan capres. Sudahlah tidak perlu terlalu menggebu-gebu membela capres masing-masing apalagi sampai menjelek-jelekkan, mendingan kalem dan menikmati bubur sesuai selera masing-masing.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Love Story (Erich Segal)

Resensi Buku : Three Cups of Tea

Dimanakah Hari Tuaku Berada?