Di bangku panjang kami menanti...

Masa perkuliahan sudah selesai, tapi bukan berarti aku bisa menikmati liburan semester begitu saja. Proses bimbingan tesis mulai berjalan jadi aku masih harus bolak-balik kampus-kosan. Aku memutuskan menyelesaikan bimbingan sampai ujian proposal tesis selesai baru pulang kampung, karena biasanya kalau sudah di rumah dan bertemu dengan keponakan-keponakan yang lucu malas sekali rasanya untuk membuka-buka laptop dan menyelesaikan pekerjaanku. Tadinya Aku pikir tidak ada lagi tugas kuliah yang belum dikerjakan, semua sudah diselesaikan dan dikumpulkan tepat pada waktunya, tapi ternyata masih ada satu lagi tugas kelompok yang belum selesai. Masalahnya ternyata karena tidak semua teman mengerjakan tugas yang sudah dibagi, dan sepertinya teman-temanku itu juga tidak begitu peduli dengan tugas-tugas kuliah tersebut.Kecewa karena ini bukan pertama kalinya temanku (ada dua orang) berbuat seperti itu. Semester dua yang lalu pun kami sekelas nyaris tidak mendapat nilai karena mereka berdua belum mengumpulkan tugas dan dosen mata kuliah tersebut tidak mau memberi nilai kalau semua tugas belum terkumpul. Kadang terbersit juga dipikiranku, orang-orang yang tidak bertanggung jawab dan kurang idealis semasa di bangku kuliah itu, jangan-jangan saat mereka lulus dan jadi pejabat pemerintah  nanti mereka akan jadi generasi penerus koruptor bangsa ini...


Tapi itu bukan cerita yang menarik yang akan aku ceritakan. Yang menarik adalah bagaimana aku dan teman-teman satu angkatan yang jumlahnya lumayan banyak pontang-panting mengejar dosen pembimbing tesis. Karena jumlah mahasiswa angkatanku cukup banyak, maka satu dosen membimbing cukup banyak mahasiswa, belum lagi ditambah kakak kelas yang belum lulus. Jadilah kami setiap hari mengantri di bangku panjang di depan ruang dosen, persis seperti orang antri di praktek dokter kandungan, harap-harap cemas menunggu panggilan. Kalau ada mahasiswa yang keluar dengan muka berseri-seri dan tersenyum lebar itu artinya proposal tesisnya sudah disetujui (atau kalau bahasa kami di acc) untuk diujikan dalam sidang ujian proposal tesis. Biasanya kami akan menyalami teman kami itu dan mengucapkan selamat.Tapi jika ada yang keluar dari ruang dosen dengan kepala terkulai lemah atau garuk-garuk kepala dengan senyum kecut, itu artinya dia masih harus meneruskan proses bimbingan sampai dosen merasa proposalnya cukup layak untuk diujikan.Dan kalau ada yang keluar dengan muka pucat dan air mata hampir tumpah, itu artinya dia harus mengganti judul penelitiannya dan memulai proses bimbingan lagi dari awal, untuk yang terakhir ini  biasanya kami akan segera menghibur teman kami tersebut sambil berdoa dalam hati agar hal itu tidak terjadi pada kami.

Menunggu di bangku panjang sambil memperhatikan ekspresi wajah teman-teman yang baru keluar dari ruang bimbingan membuat aku jadi tersenyum-senyum sendiri.Kadang-kadang dosen kami keluar ruangan dan melirik kami sekilas yang berjejer rapi di bangku panjang, seakan menikmati kepanikan dan harap-harap cemas kami. Aku sendiri nasibnya tidak jauh berbeda dengan teman-temanku, aku juga bukan termasuk mahasiswa yang rajin bimbingan.Dalam satu bulan paling banyak 2 kali aku menemui pembimbingku. Tapi karena melihat sudah mulai banyak temanku yang di acc untuk ujian proposal, mau tidak mau aku jadi termotivasi juga untuk bisa cepat di acc pembimbingku. Sifat asliku yang tidak percaya diri kadang juga mempersulit diriku sendiri, seringkali untuk menghadap dosen saja aku maju  mundur, entah apa yang aku takuti.Beruntung kedua pembimbingku cukup mudah ditemui dan sejauh ini sangat kooperatif dalam membimbingku, tidak seperti temanku yang lain yang harus menunggu sekian lama hanya untuk disetujui judul penelitiannya.

Hari Senin itu aku kembali bergabung dengan teman-temanku menunggu di bangku panjang, aku berharap hari itu dosen pembimbing utamaku mau menyetujui proposal tesisku untuk diujikan, karena pembimbing keduaku sudah menyetujui hari Sabtu sebelumnya. Sambil menunggu giliran menghadap -karena yang akan menghadap beliau cukup banyak, aku menyibukkan diri membaca novel Ranah Tiga Warna yang baru kubeli, entah karena cemas menunggu atau karena cerita sedih di novel itu aku malah tiba-tiba jadi ingin menangis. Kalimat mantra di novel itu "man shabara zhafira" benar-benar menjadi pelipur lara buatku, siapa yang sabar akan beruntung.. tak mengapa harus menunggu dosen dari pagi bahkan kadang sampai sore, kata-kata mantera itu selalu terngiang-ngiang ditelingaku. Akhirnya penantianku hari itu berbuah hasil dosen pembimbingku menyetujui proposal tesisku untuk diujikan, Alhamdulillah aku berbisik dalam hati...Sekarang aku harus mempersiapkan diri untuk menghadapi ujian proposal tesisku nanti, walaupun sesekali aku mencuri-curi waktu membaca novel dan menulis di blogku.

Kedepan masih banyak yang harus aku perjuangkan, Bismillahirrahmanirrahim, berbekal man shabar zhafira aku pasti bisa...

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Love Story (Erich Segal)

Resensi Buku : Three Cups of Tea

Dimanakah Hari Tuaku Berada?