Resensi Novel :Ranah Tiga Warna

Judul          : Ranah Tiga Warna
Pengarang : A. Fuadi
Penerbit     : Pt. Gramedia
Halaman    : 473 halaman
Harga        : Rp. 65.000,-


Ini adalah buku ke dua dari novel trilogi karangan A. Fuadi, agak lama juga menunggu buku kedua ini terbit setelah buku pertamanya yang berjudul Negeri Lima Menara. Buku yang ke dua ini menceritakan tentang kehidupan Alif Fikri setelah menyelesaikan pendidikannya di Pondok Madani. Seting kejadian di buku ke dua ini di mulai dari Sumatera Barat, kemudian Bandung tempat Alif kuliah dan Kanada tempat alif mengikuti program pertukaran mahasiswa. Lulus dari Pondok Pesantren tidak menyurutkan niat Alif untuk meneruskan kuliah di perguruan tinggi negeri. Masalahnya yang pertama adalah dia tidak memiliki ijazah setingkat SMA, untuk itu Alif harus mengikuti ujian persamaan agar bisa mendapat ijazah SMA. Semua teman-temannya meragukan Alif bisa lulus dari ujian tersebut, karena dia harus belajar pelajaran SMA hanya dalam waktu 2 bulan.

Dengan mantera saktinya dari Pondok Madani Man Jadda Wa Jada dan terinspirasi semangat tim dinamit Denmark, dia mendobrak rintangan berat dan akhirnya lulus ujian persamaan SMA selanjutnya bahkan  lulus UMPTN di Unpad Bandung jurusan Hubungan Internasional. Jurusan tersebut dipilih karena Alif merasa peluangnya menjelajah Benua Amerika akan terwujud jika dia masuk jurusan tersebut. 

Berbekal sepatu kulit hitam dari ayahnya -yang kemudian dia sebut si hitam- Alif merantau ke Bandung tanpa diantar  orang tuanya karena ayahnya sudah mulai sakit-sakitan. Belum lama Alif menikmati masa kuliahnya Ayahnya meninggal dunia, sejak itu kehidupannya semakin susah. Alif tidak ingin membebani ibunya dengan uang kuliah dan biaya hidupnya di rantau. Segala cara dilakukannya untuk mencari uang, mulai dari menjadi guru privat, menjual parfum door to door bahkan berjualan songket minang kepada ibu-ibu. Tapi dia tetap saja kesulitan uang, bahkan dia terpaksa berhemat sarapan pagi  membeli bubur setengah porsi kemudian menambahnya dengan air agar mangkuk bubur itu penuh.

Mantera man jadda wa jadda seakan tidak berfungsi, bahkan Alif pun jatuh sakit. Saat sakit itulah Alif menemukan bahwa di Pondok Madani mereka juga diajarkan satu mantera lagi yaitu man shabara zhafira....siapa yang bersabar dia akan beruntung...Dengan dua mantera itu Alif mulai mewujudkan mimpi-mimpinya, bersama si hitam akhirnya dia bisa sampai ke Yordania dan Kanada.

Novel ke dua ini juga menceritakan persahabatannya dengan sahabat masa kecilnya Randai, juga dibumbui kisah persaingannya merebut perhatian seorang gadis bernama Raisa yang juga ditaksir Randai. Gadis cantik yang tidak hanya pandai berbahasa perancis tapi juga bersuara emas. Alif membayangkan bahkan jika Raisa menyanyikan daftar menu di rumah makan Padang pasti akan jadi nyanyian yang indah : randang...gulai cancang...dendeng batokok...gulai utak....talua balado...gulai paku...pucuak ubi...samba lado mudo...membayangkannya saja membuat perut Alif menderu-deru.

Akhirnya Alif berhasil mewujudkan cita-citanya, menjadi sarjana dan berhasil menjejakkan kakiknya di benua Amerika. Ranah 3 Warna adalah hikayat bagaimana impian tetap wajib dibela habis-habisan walau hidup terus digelung nestapa. Worth to read....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Love Story (Erich Segal)

Dimanakah Hari Tuaku Berada?

Resensi Buku : Three Cups of Tea