Tanah Aceh Nan Perwira

Sudah sangat lama aku ingin mengunjungi dua kota paling barat Indonesia yaitu Medan dan Banda Aceh, terlebih lagi Banda Aceh karena menurutku kota itu menyimpan sejarah yang cukup banyak, sejarah kepahlawanannya melawan Belanda dan juga kisah pilu yang ditinggalkan tsunami.
Perjalananku dimulai dari Kota Medan, hari sudah menjelang petang ketika akhirnya aku menjejakkan kaki pertama kali di Bandara Internasional Polonia Medan. Agak terkejut aku menyaksikan begitu banyak toko di dalam bandara, suasana hiruk-pikuknya mengingatkanku pada stasiun kereta, ramai sekali.

Aku menyingkir dari keramaian dan memilih duduk di sebuah restoran sederhana di luar terminal kedatangan sambil menunggu temanku datang menjemput. Kuperhatikan orang yang lalu lalang dan tersenyum sendiri mendengarkan percakapan mereka dengan logatnya yang khas. Tak lama menunggu akhirnya temanku datang, dengan menumpang bentor (becak motor) kami langsung berkeliling Kota Medan. Kota yang ramai sekali itu kesan pertamaku, jauh sekali jika dibandingkan dengan kota kelahiranku Bengkulu. Gedung-gedung yang megah, pusat perbelanjaan yang mewah terdapat dimana-mana, mirip dengan Jakarta lengkap dengan kemacetan lalu lintasnya.
Tujuan utamaku seperti biasa adalah masjid raya, karena setiap daerah di Indonesia pasti memiliki masjid raya yang indah. Akhirnya bentor yang kami tumpangi sampai di depan Masjid Raya Medan, arsitekturnya benar-benar indah mirip masjid di Spanyol atau di Turki, kubahnya berbeda dengan kubah-kubah masjid raya yang sudah pernah kukunjungi. Masjid itu ternyata sudah ada sejak tahun 1906 sebelum kemerdekaan negara Indonesia. Tanpa membuang waktu aku langsung memotret bangunan masjid yang indah tersebut. Puas memotret, kami segera menuju ke Istana Maimoon yang lokasinya tidak jauh dari masjid raya. Istana Maimoon adalah istana kebesaran Kerajaan Deli, sebagai orang melayu aku merasa perlu untuk megetahui sejarah Kerajaan Melayu jaman dulu kala.

Keesokan paginya barulah kami berburu oleh-oleh sirup martebe (markisa dan terong belanda) serta bolu meranti dan bika ambon yang terkenal itu, tapi sebelumnya sarapan soto khas medan yang terkenal dulu. Sopir bentor yang kami tumpangi  membawa kami ke sebuah warung soto yang sangat ramai, pelayannya sangat sibuk melayani pembeli yang tak ada habis-habisnya. Untunglah tak begitu lama menunggu akhirnya kami mendapatkan bangku kosong, pelayanan dengan cepat menyajikan soto pesanan kami, Penyajiannya sangat sederhana dengan piring dan mangkok plastik yang sngat tidak menarik. Semua orang di warung itu makan dengan sangat cepat, mengingatkanku pada cerita temanku yang seorang tentara. Aku yang terbiasa makan sangat lama terpaksa harus mengunyah dengan cepat, hmm.. rasa soto dagingnya memang sangat lezat, kuahnya santannya gurih dan bumbunya pas.
Tak banyak kesan yang kudapatkan dari kota medan, selain kemegahan dan keramaian, selesai makan kami langsung menuju bandara untuk melanjutkan perjalanan menuju Banda Aceh. Kurang dari 1 jam pesawat kami mendarat di Bandara Sutan Mahmudsyah, sinar matahari langsung menyambar muka dengan garangnya. Aku terpaksa harus sering mengernyitkan mata karena matahari bersinar sangat terang dan panas.


 Tempat pertama yang ingin kudatangi adalah Masjid Raya Baiturrahman, masjid yang menjadi saksi bisu betapa perwiranya bumi serambi mekah dulu kala, masjid yang juga menjadi saksi bisu betapa dahsyatnya tsunami menerjang kota Banda Aceh kala itu. Dan akhirnya berdirilah aku di depan masjid yang sudah sekian lama aku rindukan itu, dari jauh sinar kewibawaannya terpancar sangat tegas, saat aku masuk ke dalam dan ikut sholat berjamaah ada rasa haru yang mendesak-desak muncul. Di masjid inilah dulu orang-orang aceh diselamatkan Allah dari tsunami, dan bagaimana Allah menundukkan gelombang tsunami yang dahsyat itu hingga tunduk di muka rumahNya ini. Tak dapat kulukiskan keharuanku bisa sholat berjamaah di rumah Allah yang selalu dijagaNya ini, sudah sejak lama aku ingin mengunjungi masjid yang sangat disayangi Allah ini.

 Kami meneruskan perjalanan di kota Banda Aceh, dimulai dari monumen RI 1 berupa replika pesawat yang dimiliki Republik Indonesia pertama kali, yang dibeli dari uang yang secara suka rela dikumpulkan masyarakat Aceh. Bagaimanapun peristiwa tsunami di tahun 2004 telah menjadi bagian dari sejarah masyarakat Aceh. Karena itu aku ingin menyaksikan dari dekat sisa-sisa kedahsyatan tsunami kala itu. Kami membelah kota Banda Aceh dengan menumpang becak motor, matahari bersinar sangat terik, sampailah kami di Museum Tsunami yang didirikan untuk mengenang kedahsyatan tsunami tahun 2004 itu. Di dalam gedung dipamerkan foto-foto saat tsunami, sangat berbeda dengan keadaan Aceh sekarang.  Di atas atap yang menyerupai kubah dipasang bendera-bendera negara sahabat yang banyak membantu proses penyelamatan saat bencana itu terjadi.
 

Perjalanan dilanjutkan menuju PLTD apung yang juga terseret arus tsunami hingga ke tengah kota. Dan berdirilah di sana kapal besar itu yang beratnya mencapai ribuan ton terseret hingga 5km ke tengah kota, membisu menjadi saksi dahsyatnya tsunami kala itu. Pengunjung yang kebanyakan anak muda asyik berfoto di atas kapal. Aku memandang kapal yang diam membisu itu, sekilas terbersit keharuan dihatiku, jika kapal seberat itu tak berdaya terseret arus yang demikian kuatnya, apalagi anak manusia yang hanya beberapa puluh kilo saja beratnya. Sungguh betapa lemah dan tak berdayanya kita manusia di hadapan Allah SWT...

( Bersambung :Sabang Nan Elok )

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Love Story (Erich Segal)

Resensi Buku : Three Cups of Tea

Dimanakah Hari Tuaku Berada?